Ada satu nama yang menempel di buku sejarah, tepat di bab ilmu kedokteran. Alexis St. Martin. Kisahnya membuka rahasia perut manusia dan memperlihatkan bagaimana organ itu bekerja. Tapi harganya tidak kecil.
Pengetahuan itu lahir dari penderitaan. Cerita ini bukan sekadar soal penemuan ilmiah. Ini catatan gelap tentang etika, juga tentang pilihan hidup yang keras, pilihan yang sering kali terasa seperti menimbang hidup atau mati.
Banyak orang melihatnya sebagai korban, bahkan korban yang pasif. Betul, ia memang korban kecelakaan yang sangat tragis. Ia tertembak dari jarak dekat, luka di perutnya parah, meninggalkan lubang menganga. Lubang itu menjadi fistula medis yang tidak pernah benar-benar tertutup.
Di titik itulah Dr. William Beaumont muncul. Seorang dokter tentara yang merawat St. Martin dengan telaten. Tanpa Beaumont, St. Martin bisa mati karena infeksi (Mackinac State Historic Parks, 2022). Di sinilah relasi mereka jadi rumit dan sulit dibaca.
Beaumont menyelamatkan nyawanya. Ia memberi makan, membersihkan luka, dan menampungnya. Pemerintah menolak menanggung biaya perawatan. Keadaan ini menekan St. Martin ke sudut sempit. Pilihannya seperti mustahil: kembali ke jalan dan mungkin meregang nyawa, atau hidup sebagai subjek penelitian.
Ia memilih bertahan hidup. Sejak itu, lahirlah kemitraan yang ganjil. Bukan perbudakan dalam arti biasa, melainkan simbiosis yang timpang. Beaumont butuh jendela ke perutnya. St. Martin butuh Beaumont untuk tetap hidup.
Namun St. Martin bukan orang yang hanya menerima nasib. Ia pergi. Pada 1825 ia meninggalkan Beaumont, pulang ke Kanada, menikah, dan punya anak. Ia bekerja empat tahun, berusaha menyusun ulang hidupnya (Wisconsin Historical Society, 1918).
Tapi kemiskinan menutup banyak pintu. Beaumont melacaknya, lalu menawarkan kontrak baru. Terdesak kebutuhan, St. Martin kembali. Kembali kepada dokter yang menjadikannya kelinci percobaan. Di situ kita melihat bentuk paksaan yang paling kuat. Bukan rantai di tangan, melainkan belenggu kemiskinan.
Untuk memahami tindakan Beaumont, kita perlu menengok kacamatanya pada masa itu. Etika medis abad ke-19 berbeda. Persetujuan sadar dari pasien belum menjadi konsep yang mapan.
Kemajuan ilmu sering dipuja sebagai tujuan tertinggi, dan cara yang keras kerap dianggap wajar, termasuk eksperimen pada kelompok rentan. Dengan ukuran hari ini, itu jelas tidak etis (Washington University School of Medicine, 2023). Tapi menghakimi tanpa konteks sejarah justru membuat persoalannya terlihat terlalu sederhana.
Hasil kerja Beaumont pada akhirnya mendasar bagi ilmu. Ia orang pertama yang mengamati proses pencernaan secara langsung dan sistematis. Lewat ratusan eksperimen pada St. Martin. Ia menunjukkan bahwa pencernaan bersifat kimiawi. Bukan sekadar mekanis. Dan bahwa asam lambung memegang peran kunci.