Mohon tunggu...
Dinda Miralda Septia
Dinda Miralda Septia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Writing about films, communication, travel, and occasionally exploring social issues. —always curious, always learning.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Belajar Tenang di Tengah FOMO: Catatan Kecil dari Buku Filosofi Teras

9 Juni 2025   13:59 Diperbarui: 9 Juni 2025   14:25 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Filosofi Teras

Di era ketika semua orang terlihat bergerak cepat, tampil sempurna, dan sibuk menunjukkan pencapaian, mudah sekali merasa tertinggal. Fenomena ini dikenal dengan nama FOMO (Fear of Missing Out) dan bagi banyak anak muda, terutama Gen Z yang lahir dan tumbuh bersama media sosial, FOMO bukan sekadar istilah tren. Ia bisa hadir sebagai kecemasan, tekanan sosial, bahkan krisis identitas.

Saya menemukan sedikit kelegaan dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Buku ini memperkenalkan kembali ajaran Stoikisme, sebuah filsafat Yunani kuno yang ternyata masih sangat relevan untuk zaman sekarang.

Stoikisme, menurut buku ini, adalah ajaran yang membagi hidup ke dalam dua hal: apa yang bisa kita kendalikan, dan apa yang tidak. "Penderitaan kita sebagian besar disebabkan oleh kegagalan membedakan antara dua hal ini," tulis Henry dalam salah satu bagian awal bukunya. Kalimat ini, meski sederhana, seperti menampar. Berapa banyak dari kita yang habis energi karena memikirkan hal-hal yang sebetulnya di luar kendali? Kita gelisah karena seseorang tidak membalas pesan, karena unggahan kita tidak banyak yang menyukai, atau karena orang lain tampak lebih berhasil.

Di sinilah Stoikisme menawarkan jarak. Ia tidak mengajak kita menjadi acuh, tapi lebih sadar. Bahwa kita tidak bisa mengendalikan dunia, tapi kita bisa mengendalikan cara kita melihat dan merespons dunia. Henry memaparkan ajaran-ajaran Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca dalam bahasa yang sangat akrab bahkan kadang diselingi humor. Buku ini tidak terkesan menggurui, justru terasa seperti teman lama yang menepuk pundak dan berkata, "Napas dulu, semua baik-baik saja."

Salah satu kutipan yang paling membekas bagi saya berasal dari Epictetus, yang dikutip di dalam buku ini: "Bukan peristiwa yang mengganggu manusia, melainkan pandangan manusia tentang peristiwa itu." Kutipan ini jadi semacam pengingat bahwa kadang dunia tidak seburuk itu, hanya saja cara kita memandangnya yang belum jernih. Dan kejernihan, rupanya, bisa dilatih.

Dalam buku ini juga, Henry menyampaikan konsep dichotomy of control, gagasan bahwa hidup bisa lebih ringan jika kita belajar melepaskan hal-hal yang bukan milik kita. Termasuk perasaan ingin selalu tahu, ingin selalu terlibat, ingin selalu menjadi bagian dari sesuatu. Kadang kita ikut ramai membahas tren yang bahkan kita tidak pahami, hanya karena takut tertinggal obrolan. Kita terlalu takut tidak dianggap relevan. Dan itulah jebakan yang terus-menerus membuat kita gelisah.

Tapi Stoikisme tidak menjadikan kita pasif atau membenarkan kemalasan. Justru sebaliknya. Ia menekankan pentingnya menjalani peran kita sebaik mungkin, dengan sadar dan jujur pada diri sendiri. Menjalani yang ada di tangan, bukan yang ada di tangan orang lain. Menjadi versi terbaik diri sendiri, bukan bayangan orang lain.

Membaca Filosofi Teras seperti diberi waktu sejenak untuk berhenti dan bertanya: apa sih yang sebenarnya aku butuhkan? Apakah aku sungguh ingin itu semua, atau hanya tidak ingin ketinggalan?

Bagi generasi yang hidup di tengah dunia serba cepat, penuh tekanan performa, dan banjir perbandingan digital, Filosofi Teras bukan sekadar buku filsafat. Ia adalah pegangan sederhana untuk tetap waras. Alih-alih berlomba untuk terlihat “paling tahu” atau “paling berhasil,” buku ini mengajarkan kita untuk mengenal batas diri, menerima kenyataan, dan tetap tenang meski dunia berisik.

Tidak semua orang cocok dengan pendekatan Stoik. Ada yang mungkin merasa ajaran ini terlalu dingin atau mengabaikan emosi. Tapi bagi saya, justru di situlah nilai pentingnya: Stoikisme mengajak kita mengenali emosi tanpa dikuasai olehnya. Di tengah FOMO, Stoikisme bukan ajakan untuk berhenti bermimpi, tapi untuk berhenti membandingkan diri secara membabi buta. Untuk kembali ke apa yang bisa dikendalikan: niat, kerja, dan cara kita menyikapi dunia.

Tentu, kita tidak akan langsung menjadi tenang dalam semalam hanya karena membaca buku ini. Tapi setidaknya kita jadi tahu bahwa ada cara untuk belajar tenang. Bahwa kita tidak sendiri dalam kegelisahan. Bahwa ada jalan untuk tidak selalu ikut lomba, tapi tetap merasa cukup dan utuh. Dan mungkin, dalam dunia yang selalu menuntut kita untuk cepat, hebat, dan terlihat bahagia, belajar tenang adalah bentuk perlawanan kecil yang paling penting.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun