Penulis: Dina Amalia (Kaka D)
Lagi banyak waktu untuk buku; membersihkan dan memasarkan koleksi yang tertinggal. Mata saya digoda oleh sebuah buku bertepi biru, sudah tua, tapi paras dan bodinya semakin menawan. Retro cokelat muda, wangi pula! Di sampul bertuliskan 'Bahasa Sunda di Daerah Cirebon' garapan Ayatrohadi.
Membaca Cirebon, mengingat mudik. Di keluarga saya, Cirebon menjadi patokan pemberhentian dan kelegaan. Meninggalkan jejak kabar, selalu ditanya "sudah sampai di mana?" jika menjawab "sudah di Cirebon," pasti rasa lega merekah bagi keluarga. Seraya mengangguk, "oh alhamdulillah sudah di tengah-tengah," artinya tak lama lagi sampai.
Tapi, hanya sebatas kenal muka dan nama. Saya belum mengenal Cirebon lebih jauh. Kebetulan karya garapan Ayatrohadi menggoda, ngajak berkenalan. Sombongnya saya kalau melewatkan momen apik begitu saja. Eh, tapi saya malu kalau sendirian, mari kita kenalan barengan!
Gairah Sejarah dan Berbahasa
Kasihan, buku yang sudah lama dibeli belum sempat disentuh. Padahal isinya lengkap dan cantik. Tebal 367, memuat bukan hanya soal kajian bahasa, melainkan juga:Â lintasan sejarah, keadaan alam, bahasan peta, teknologi dan talimarga, pendidikan, lapisan masyarakat, kelompok etnik penduduk, agama, kesenian dan kebudayaan, sampai persabdaprajaan dan lokabasa. Paripurna!
Koleksi saya ini, tercantum: Cetakan pertama - 1985. Juga tercantum: Disertasi Universitas Indonesia, tahun 1978. Diterbitkan oleh PN Balai Pustaka, termasuk dalam SERI ILDEP (Indonesian Linguistics Development Project) di bawah redaksi W.A.L. Stokhof.
Keadaan Bahasa di Daerah Cirebon
Saya lebih dulu memberi perhatian pada halaman tentang keadaan bahasa di Cirebon. Ada empat bahasa yang dijabarkan, yakni: Bahasa Jawa-Cirebon, Bahasa Sunda, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Asing. Secara rinci tertuang pada halaman 108-113 dan sedikit saya ringkas:
"Bahasa Jawa-Cirebon sudah berperan sebagai alat talimarga sehari-hari sejak pertengahan abad ke-15 Masehi. Dapat diperkirakan bahwa pengaruh Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Jawa-Cirebon mulai ada menjelang akhir abad ke-15.
Bahasa Jawa yang dipergunakan di Cirebon dianggap lebih memperhatikan ciri-ciri 'kuna', antara lain cara pengucapan dan akhiran yang berfungsi menyatakan bentuk transitif orang kedua, yang hanya dikenal dengan akhiran -akn dan tidak mengenal akhiran -ak.