Dalam hal ini, mahasiswa melawan hegemoni negara dengan menciptakan wacana tandingan. Dalam era digital, ruang perlawanan mahasiswa tidak hanya terjadi di jalanan atau kampus, tetapi juga meluas ke media sosial. Media digital menjadi arena baru bagi mahasiswa untuk menyampaikan kritik, menyebarkan informasi, dan membangun solidaritas. Namun, negara juga tidak tinggal diam. Negara menggunakan buzzer, propaganda digital, hingga pemblokiran konten untuk mengendalikan opini publik. Di sinilah pertarungan hegemoni terjadi secara nyata. Mahasiswa berupaya membangun "kesadaran kolektif" tentang ketidakadilan melalui media sosial, sementara negara berusaha mempertahankan narasi dominan melalui kontrol informasi. Hal ini memperlihatkan bahwa pembungkaman terhadap mahasiswa tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga simbolik dan ideologis.
Dengan menggunakan kerangka pemikiran Gramsci, dapat dipahami bahwa pembungkaman terhadap pergerakan mahasiswa bukanlah sekadar pelanggaran hak berekspresi, tetapi merupakan bagian dari pertarungan ideologi dan kekuasaan. Negara berusaha mempertahankan dominasinya melalui hegemoni, sementara mahasiswa mewakili kelompok yang mencoba mengganggu dominasi tersebut dengan membangkitkan kesadaran masyarakat. Perlawanan mahasiswa adalah bagian dari proses sosial yang sehat, di mana kritik dan kesadaran menjadi senjata untuk menciptakan perubahan. Ketika negara membungkam mahasiswa, itu menunjukkan bahwa hegemoni negara sedang terancam, dan perlawanan terhadap ketidakadilan telah memasuki tahap yang lebih dalam: perlawanan terhadap cara berpikir, cara hidup, dan makna kebenaran yang dikonstruksi oleh kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI