Pendahuluan ---
Di Indonesia, organisasi kemasyarakatan (ormas) selalu berdiri pada garis tipis antara ruang sipil yang sehat dan ruang politik yang mudah direbut oleh kepentingan politik praktis. Resolusi MPRS No. III Tahun 1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa lahir pada konteks transisi traumatik pasca-1965, dan menyimpan amanat penting: ormas harus menjadi alat penguat kesatuan, bukan instrumen fragmentasi politik. Namun, dalam realitas dekade terakhir---terutama sejak gelombang pembubaran ormas radikal hingga meningkatnya polarisasi politik identitas---peran ormas kian rawan dipolitisasi menjadi agen kepentingan sektarian, komersial, atau elite. Hal ini menuntut kajian kritis: sejauh mana ormas masa kini masih menunaikan amanat pembinaan kesatuan bangsa sebagaimana diwasiatkan MPRS 1966?...Â
---
1. Amanat Resolusi MPRS 1966: Inti Normatif yang Sering Terabaikan
Resolusi MPRS No. III/1966 menempatkan pembinaan kesatuan bangsa sebagai tugas kolektif negara dan masyarakat, dengan penekanan kuat pada ketahanan mental berlandaskan Pancasila dan pendidikan kebangsaan. Secara normatif, resolusi ini meminta ormas berperan sebagai perekat sosial: memperkuat integrasi, merawat nilai kebangsaan, dan menahan arus fragmentasi sektarian. Namun, amanat normatif itu bukan sekadar retorika sejarah; ia adalah tolok ukur yang relevan untuk menilai praktik ormas hari ini.Â
---
2. Gambaran Kontemporer: Ormas dalam Arena Publik dan Politik Praktis
Sejak 2024-2025, pemberitaan tentang ormas kembali mengemuka dalam ruang publik digital --- dari isu benturan dengan aparat, tuduhan premanisme, sampai perdebatan soal pembubaran atau legalitas kegiatan ormas --- sehingga diskursus ormas "mengganggu" agenda demokrasi dengan intensitas baru. Laporan media nasional menyebut bahwa sejak April 2024, wacana tentang ormas mendominasi ruang publik digital; ini menunjukkan bahwa ormas bukan lagi aktor marginal melainkan pemain kunci yang mampu mengubah atmosfer politik lokal dan nasional. Fenomena ini menandakan dua hal: tingginya visibilitas ormas dan meningkatnya kekhawatiran publik atas arah aktivitasnya.Â
Di samping itu, pemerintah melalui Kementerian/Lembaga terus melakukan upaya regulasi dan sosialisasi---misalnya program sosialisasi peraturan perundang-undangan ormas pada 2025 --- yang menandai kesadaran birokrasi untuk menata ulang hubungan negara--ormas agar selaras dengan hukum dan ketertiban publik. Namun, regulasi tanpa penegakan dan tanpa pembinaan ideologis yang kuat berisiko hanya menjadi instrumen administratif yang mudah disiasati.Â
---