Pendahuluan: Marhaenisme dan hak milik rakyat atas kekayaan negara
Bung Karno merumuskan Trisakti: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gagasan itu bukan slogan; ia adalah mandat agar alat-alat produksi strategis dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elite. Dalam pidato "Tahun Vivere Pericoloso" 17 Agustus 1964, Soekarno menegaskan prinsip "Trisakti" sebagai penopang revolusi dan kemandirian nasional.Â
Marhaen---simbol kaum kecil pemilik alat produksi sederhana---berhak atas pengelolaan sumber daya melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Konstitusi memerintahkannya secara terang. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.Â
Inilah fondasi normatif bahwa BUMN bukan arena bagi pembagian jatah kekuasaan, melainkan instrumen amanat penderitaan rakyat.
Fakta Terkini: rangkap jabatan dan politisasi komisaris
Dalam bulan-bulan terakhir, praktik rangkap jabatan Wakil Menteri sebagai komisaris/pengawas BUMN kembali dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Para pemohon memohon tafsir agar larangan berlaku juga bagi wakil menteri karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan merusak akuntabilitas.Â
Secara normatif, UU BUMN sudah memuat larangan rangkap jabatan bagi anggota dewan komisaris yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (Pasal 33). Larangan serupa berlaku untuk direksi (Pasal 25/53), dan diperkuat oleh aturan terkait pelayanan publik.Â
Riset masyarakat sipil juga menggarisbawahi disharmoni regulasi sebagai celah praktik rangkap jabatan. Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa UU 19/2003 jo. UU 25/2009 sudah tegas, namun implementasinya lemah sehingga rangkap jabatan komisaris/dewan pengawas BUMN terus berulang.Â
Di saat yang sama, negara mengandalkan BUMN sebagai penyetor dividen signifikan: setoran dividen ke kas negara tahun buku 2023 sekitar Rp85,5 triliun, dengan proyeksi 2025 meningkat ke Rp90 triliun. Ini bukan angka kecil---setiap praktik penempatan politik yang melemahkan tata kelola berisiko langsung ke APBN, pelayanan publik, dan harga barang/jasa vital.Â
Mengapa "bagi-bagi kursi" berbahaya?