Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PBB-P2 Naik, Pancasila Turun: Dimana Keadilan Sosial?

20 Agustus 2025   07:35 Diperbarui: 20 Agustus 2025   07:44 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah kembali memicu gelombang keluhan warga marhaen: para buruh, pedagang kecil, pensiunan, dan keluarga berpenghasilan tetap yang hidupnya makin "ketat". Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit pemerintah daerah menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan tarif PBB-P2; sebagian penyesuaian terasa melonjak tajam di permukaan karena tertumpuk situasi pasca-pandemi, tekanan biaya hidup, dan lesunya beberapa sektor informal. Tahun 2024 misalnya, riset Komisi Informasi mengungkapkan 104 daerah menaikkan PBB-P2, dengan 20 daerah kenaikannya di atas 100%; Solo dicatat menyesuaikan tarif ke 0,135% dari sebelumnya 0,12% (meski masih di bawah batas maksimal) dan menambah pembebasan bagi warga berpenghasilan rendah. Data ini menggambarkan tren mengencangnya porsi pajak properti di banyak kantong kota. 

Di saat yang sama, kita menyaksikan kontras kebijakan yang menunjukkan "pilihan politik fiskal" bisa berbeda-beda: DKI Jakarta sepanjang 2023--2024 justru memperluas keringanan---pembebasan bagi rumah pertama hingga Rp2 miliar, pengurangan untuk pensiunan/warakawuri, dan insentif untuk objek sosial serta UMKM. Artinya, bahkan dalam bingkai regulasi yang sama, ruang keberpihakan itu ada. 

Payung hukum: ruang yang luas---pilihan yang menentukan

Sejak UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) berlaku, batas atas tarif PBB-P2 naik menjadi 0,5% (dari 0,3% pada UU 28/2009). Pemerintah pusat menyerahkan variabel kunci---NJOP, klasifikasi, tarif---kepada kebijakan daerah, dengan harapan optimalisasi PAD sejalan dengan pelayanan publik. Namun konsekuensinya, bila tidak ditopang asas transparansi, partisipasi, dan perlindungan kelompok rentan, maka "kebebasan fiskal" mudah bergeser menjadi beban regresif. 

Di lapangan: antara kebutuhan PAD dan daya tahan warga

Berita daerah memperlihatkan pola yang mirip: penyesuaian NJOP "mengejar pasar" berujung tagihan PBB-P2 melesat pada rumah-rumah lama di kampung kota---khususnya yang terkena efek gentrifikasi. Tahun 2025, Pangkalpinang misalnya secara terbuka menyatakan kenaikan NJOP; pemerintah kota berjanji menyesuaikan kebijakan agar adil, namun kekhawatiran warga terhadap beban baru tetap nyata. 

Pada 2024, berbagai wilayah---dari Cirebon hingga Pati dan Jombang---terekam muncul aksi keberatan terhadap tagihan PBB-P2. Di sisi lain, ada pula pemerintah daerah yang menunda/menahan penyesuaian karena mempertimbangkan daya beli warga, seperti Kota Semarang yang sempat menyatakan tidak akan menaikkan PBB pada tahun berjalan. Potret ini menegaskan bahwa politik pajak daerah sejatinya adalah politik pilihan: antara memperluas basis dan menaikkan tarif, atau menguatkan keringanan dan memperbaiki administrasi terlebih dulu. 

Pancasila pada neraca: ukur keadilan sosial, bukan sekadar angka

Bung Karno pernah menegaskan tujuan negara: "Negara 'semua buat semua'", bukan negara untuk satu golongan. Keadilan sosial bukan sekadar slogan, melainkan prinsip kebijakan---"bukan saja persamaan politik, [tetapi] kesejahteraan bersama." Kedua kutipan ini hadir langsung dari pidato 1 Juni 1945. Diukur dengan batu uji itu, kebijakan fiskal yang menarik beban relatif lebih besar dari rakyat berpenghasilan rendah---karena proporsi pajak terhadap pendapatan mereka jauh lebih tinggi---adalah kebijakan yang membelakangi Pancasila. 

Soekarno bahkan mengingatkan: "Apakah kita mau Indonesia merdeka... yang semua rakyatnya sejahtera?" Pertanyaan retoris itu seharusnya menggema di setiap ruang rapat TAPD dan DPRD saat palu kebijakan pajak diketukkan. Optimalisasi PAD penting, namun keadilan distributif lebih esensial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun