Mahasiswa Aceh: jangan kembali ke kamar kos hanya dengan gelar dan selfie. Di saat negeri menuntut kejujuran kebijakan, keadilan agraria, dan upaya nyata menjawab kemiskinan, organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) bukanlah pilihan estetika---melainkan panggilan kerja. GMNI bukan sekadar himpunan acara; ia adalah wahana pembentukan kader, sekolah politik, dan medan praktik perjuangan yang menuntut keberanian berpikir dan keberanian bertindak.
Aceh hari ini sedang di persimpangan. Secara makro ekonomi, pertumbuhan Aceh pada 2024 tercatat tumbuh 4,66 persen (c-to-c) --- tanda pergerakan yang positif, tetapi angka pertumbuhan itu belum otomatis berarti kesejahteraan merata. Profil kemiskinan Aceh menunjukkan pekerjaan rumah yang berat: masih ada kerentanan ekonomi yang nyata dan ketimpangan yang harus dilawan bersama-sama. Data dan publikasi resmi BPS Aceh menegaskan bahwa masalah struktural tetap hadir dan memerlukan aksi kolektif, bukan sekadar retorika kampus.Â
Mahasiswa adalah bagian dari solusi --- bukan penonton. Bung Karno pernah berseru: "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Kalimat itu bukan sekadar eulogi untuk keberanian; ia adalah mandat: peran pemuda sebagai penggerak sejarah tidak boleh dilipat oleh kenikmatan akademis semata. Jika Soekarno memercayakan perubahan bangsa pada pemuda, maka tugas generasi kampus adalah menginternalisasi tanggung jawab itu, bukan sekadar mengoleksi sertifikat.Â
GMNI menawarkan kerangka itu: marhaenisme sebagai kompas ideologis, disiplin kader sebagai metode, dan kerja bersama rakyat sebagai medan. Di Aceh, di mana tradisi perlawanan dan kepahlawanan punya jejak kuat --- dari Teuku Umar yang berujar setengah legenda tentang minum kopi esok di Meulaboh atau menemui syahidnya, hingga tokoh-tokoh revolusioner modern yang menuntut pengakuan dan keadilan --- semangat perjuangan lokal seharusnya disambut oleh mahasiswa yang haus melakukan kerja konkret. Kutipan-kutipan pahlawan Aceh mengingatkan kita bahwa perjuangan adalah campuran idealisme dan pengorbanan yang tidak manis ketika dibalut sekadar nostalgia.Â
Mengapa harus GMNI? Karena GMNI menggabungkan teori dan praktik: pendidikan politik yang jelas, jaringan rakyat yang riil, dan praktik advokasi yang membumi. Mahasiswa Aceh yang bergabung dengan GMNI tak lantas kehilangan identitas lokal; justru mereka mendapat alat memadukan aspirasi Aceh dengan kepentingan nasional---melindungi hak petani, menuntut reparasi lingkungan, memperjuangkan standar pendidikan yang layak, dan menegakkan kedaulatan ekonomi daerah.
Praktik konkret itu berarti turun ke lapangan: melakukan survei kemiskinan, mendampingi petani, mengawal anggaran pendidikan, menyuarakan transparansi dalam tata kelola sumber daya alam. Ini bukan sekadar aksi sesaat; ini kaderisasi yang membangun kompetensi advokasi, strategi kampanye kebijakan, dan kemampuan memetakan kepentingan rakyat. Tanpa pengalaman lapangan, retorika "pro-rakyat" akan tetap menjadi slogan kosong.
Bagi mahasiswa Aceh, hadir di GMNI juga soal memastikan aspirasi Aceh didengar di panggung nasional. Kebijakan pembangunan pusat seringkali belum peka terhadap kebutuhan lokal; Aceh membutuhkan suara-suara terdidik yang tahu medan, yang bisa menerjemahkan data statistika ke dalam tuntutan kebijakan yang konkret. Data BPS Aceh bukan sekadar angka di laporan---mereka adalah bukti empiris yang harus diubah menjadi tuntutan kebijakan: penargetan yang lebih baik, perlindungan sosial untuk rumah tangga paling rentan, serta dukungan ekonomi berbasis kearifan lokal.Â
Jangan salah paham: bergabung ke GMNI bukan mutlak penyeragaman pemikiran. Justru sebaliknya---GMNI menuntut pluralitas pemikiran di bawah satu komitmen: keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Mahasiswa dengan latar belakang agama, budaya, atau jurusan teknik sekalipun dapat menemukan ruang berkontribusi---dari merancang strategi komunikasi, mengelola penelitian lapangan, hingga mengorganisir gerakan massa yang damai tetapi berpengaruh.
Pesan praktis untuk mahasiswa Aceh yang masih ragu:
1. Pelajari dulu: hadirlah di diskusi GMNI, baca dokumen-dokumen programnya, dan buktikan bahwa langkah bergabung adalah keputusan yang didasari pertimbangan, bukan sekadar ikut-ikutan.