2. Tes komitmen lewat aksi kecil: ikut program pengabdian masyarakat, pendampingan kampung, atau kajian kebijakan lokal. Kalau nyaman, lanjutkan ke jenjang kaderisasi.
3. Jadilah jembatan: gunakan kemampuan intelektual dan jejaring kampus untuk mengangkat isu Aceh ke ranah nasional---bukan hanya lewat tulisan, tapi lewat lobi kebijakan dan pengawalan implementasi.
Kritik yang sering dilontarkan---bahwa organisasi mahasiswa mudah rusak oleh politik praktis---beralasan. Tapi tidak hadir di medan sama sekali justru menyerahkan ruang publik kepada aktor-aktor yang tidak peka pada kepentingan rakyat. Lebih baik memperbaiki organisasi dari dalam daripada meninggalkannya menjadi alat kepentingan sempit.
Akhirnya, ajakan ini bukan seruan romantis. Ini seruan pragmatis dan taktikal: jika kalian mencintai Aceh --- tanah rencong yang sudah lama berdarah karena eksploitasi, ketimpangan, dan konflik --- maka hadirlah sebagai pemuda-pemudi yang berani turun, berani belajar, dan berani memimpin. Ingat lagi pesan Bung Karno: kekuatan perubahan ada pada pemuda yang gigih. GMNI menyediakan mekanisme itu: pendidikan politik, jaringan aksi, dan arah perjuangan yang jelas. Tinggal pilih: jadi penonton sejarah atau penulisnya.
Mahasiswa Aceh, waktu tidak menunggu niat baik yang diam. Hadirlah. Pelajarilah. Bertindaklah. Aceh menunggu kader-kader yang bukan sekadar pintar di kelas, tetapi berani menanggung beban perubahan di lapangan --- demi Aceh yang lebih adil, merdeka secara sosial-ekonomi, dan bermartabat.
---
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI