Di tengah riuh pembangunan kota dan retorika panggung tentang keadilan sosial, sebuah gang kecil di Cipedes Hegar, Kecamatan Cicendo --- sebuah lorong yang selama puluhan tahun menjadi urat nadi mobilitas dan interaksi komunitas --- menjadi panggung lakon baru: tembok bata yang menutup akses warga, klaim kepemilikan yang kabur, dan perdebatan antara rakyat kecil dengan aktor berkuasa yang membangun atas nama "fasilitas" atau "investasi". Kasus yang tampak lokal ini sesungguhnya memperlihatkan ulang luka struktural agraria yang lebih luas: relasi tanah, kekuasaan, dan hak hidup rakyat yang terus tergerus.Â
Sebagai Marhaenis yang membaca setiap peristiwa melalui lensa kepentingan rakyat kecil---petani, buruh, pemilik rumah sederhana, warga gang---kita harus menyuarakan dua kebenaran sekaligus: fakta faktual dan hukum moral. Fakta faktualnya, pada bulan September 2024 warga Gang Cipedes Hegar dibuat gerah setelah tembok setinggi kira-kira tiga meter dipasang dan akses jalan umum ditutup mendadak, tanpa sosialisasi memadai; ketegangan itu memuncak sampai akhirnya tembok dibongkar setelah mediasi yang melibatkan pihak yayasan, warga, dan pemerintah. Kejadian ini terekam dalam liputan media dan rekaman video yang viral.Â
Namun di balik peristiwa "tembok-dibuat--tembok-dirobohkan" terdapat lapisan-lapisan masalah: siapa pemilik tanah asli? Apakah ada bukti kepemilikan yang ditunjukkan? Bagaimana peran kelurahan dan pemkot Bandung dalam melindungi akses publik dan hak warga? Berapa jumlah keluarga yang terdampak aksesnya? Data-data semacam ini, yang mestinya menjadi landasan kebijakan dan penegakan hak, kerap samar, terfragmentasi, atau hanya muncul setelah tekanan publik --- sebuah pola yang menguntungkan aktor berakal modal. Laporan awal menunjukkan bahwa klaim kepemilikan yang diajukan pihak yayasan tidak langsung disertai bukti kuat yang bisa diterima seluruh warga, sehingga konflik administratif dan sosial muncul.Â
Dari soal jalan kecil ke soal struktur: mengapa ini Marhaenis?
Marhaenisme bukan sekadar nostalgia ideologis; ia adalah alat analisis --- menaruh rakyat yang bekerja dan bergelut dengan tanah sebagai titik fokus. Tanah bagi Marhaen bukan komoditas abstrak: ia adalah sumber penghidupan, akar sosial, dan ruang komunitas. Ketika akses jalan ditutup, implikasinya nyata: biaya waktu bertambah, akses ke fasilitas publik (masjid, sekolah, pasar) terhambat, anak-anak harus berjalan memutar lebih jauh, warga lanjut usia kehilangan akses mudah ke layanan kesehatan. Kerugian ini tidak hanya soal mobilitas; ia melemahkan kemampuan reproduksi kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Latar historis Indonesia menunjukkan, pengurangan akses dan perampasan tanah sering berpola: klaim legalitas dipakai untuk menjustifikasi privatisasi ruang publik demi kepentingan institusi kuat --- korporasi, yayasan, atau lembaga keagamaan/pendidikan yang memiliki modal.Â
Kritik: Kelemahan tata kelola dan inkonsistensi aparat
Analisis kritis harus menunjuk pelbagai titik kegagalan: pertama, pendaftaran dan peta kepemilikan lahan yang belum transparan atau tidak divisualisasikan kepada publik. Kedua, minimnya partisipasi warga ketika keputusan yang memengaruhi ruang publik dibuat. Ketiga, keengganan aparat untuk bertindak proaktif melindungi hak-hak akses umum---hingga konflik terjadi dan harus diselesaikan secara ad-hoc. Dalam kasus Cipedes Hegar, peristiwa pembongkaran tembok hanya terjadi setelah protes warga dan sorotan publik; ini memunculkan pertanyaan: akankah warga yang kurang berdaya selalu harus memaksa agar haknya dipulihkan? Jawabannya menunjukkan kelemahan tata kelola yang harus dikoreksi.Â
Data adalah senjata --- namun data sering dilupakan
Kebijakan pro-rakyat memerlukan data: jumlah rumah tangga terdampak, peta legalitas, catatan administrasi kelurahan, bukti sertifikat, hingga catatan historis penggunaan jalan. Ironisnya, dalam konflik semacam ini, data sering kali muncul terlambat atau dimanipulasi untuk menjustifikasi langkah sepihak. Oleh karena itu, rekomendasi teknis Marhaenis pertama: pemerintah daerah wajib mempublikasikan peta partisipatif hak guna lahan dan akses publik---termasuk jalur-jalur yang telah digunakan masyarakat lebih dari 20 tahun---sebagai prasyarat perizinan. Praktik semacam ini mengurangi ruang bagi klaim sepihak dan memperkuat pegangan hukum warga.
Soal hukum dan moralitas: siapa yang berhak?