Dalam belantara demokrasi dan pembangunan di Indonesia, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) memegang peran yang tak kecil. Mereka menjadi jembatan antara rakyat dan negara, memperjuangkan hak, keadilan, dan kesejahteraan. Namun, tidak semua LSM berpijak di tempat yang sama. Ada yang benar-benar tumbuh dari akar rumput, berpijak pada kepentingan rakyat Indonesia sendiri---kita sebut mereka LSM Merah Putih. Di sisi lain, ada yang justru lebih banyak terhubung dengan kepentingan dan pendanaan asing---kita sebut sebagai LSM Berbendera Asing. Keduanya tengah terlibat dalam perebutan wacana, arah kebijakan, dan pengaruh sosial-politik di Indonesia.
LSM Merah Putih: Wajah Lokal, Akar Kerakyatan
LSM Merah Putih adalah mereka yang bergerak bersama komunitas. Mereka tidak hanya hadir saat kamera menyorot atau ketika dana donor tiba. Sebut saja contoh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan cabang-cabang LBH-nya, atau WALHI yang konsisten mengadvokasi isu lingkungan dari perspektif hak rakyat.
Menurut data dari Kementerian Hukum dan HAM per tahun 2023, terdapat lebih dari 400.000 organisasi masyarakat sipil terdaftar di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang aktif secara nyata dan berorientasi kepada rakyat bawah.
LSM seperti ini mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh revolusioner progresif seperti Tan Malaka, yang menyatakan bahwa "hanya dengan kekuatan rakyat yang sadar, kemerdekaan bisa diisi dengan keadilan." Mereka kerap menolak tunduk pada narasi pembangunan versi elite atau versi asing yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan ekologis.
LSM Berbendera Asing: Dana Banyak, Arah Abu-Abu
Di sisi lain, LSM yang memperoleh sebagian besar pendanaannya dari luar negeri---seringkali dari lembaga seperti USAID, Ford Foundation, Open Society Foundations, dan lain-lain---kerap membawa agenda yang dibungkus dalam istilah "demokratisasi", "good governance", atau "sustainable development". Namun, substansi di balik jargon itu seringkali lebih mencerminkan kepentingan global daripada kebutuhan lokal.
Studi oleh The Asia Foundation tahun 2022 mencatat bahwa lebih dari 65% LSM yang bergerak di bidang demokrasi, HAM, dan antikorupsi di Indonesia bergantung pada dana luar negeri. Tak jarang, pendekatan mereka menimbulkan resistensi karena dianggap asing dari konteks budaya dan ekonomi Indonesia.
Seperti yang diungkap oleh Noam Chomsky, "banyak bantuan internasional bukan tentang memberi, melainkan tentang memastikan arah kebijakan negara penerima sesuai dengan kepentingan donor." LSM-LSM ini sering dipakai sebagai soft power negara-negara besar untuk membentuk opini publik dan tekanan kebijakan dari luar sistem formal negara.
Pertarungan Wacana: Antara Kepentingan Nasional dan Global