Leon Trotsky dan Joseph Stalin adalah dua tokoh sentral dalam sejarah Uni Soviet yang memiliki peran krusial dalam membentuk arah negara tersebut pasca-Revolusi Oktober 1917. Keduanya menawarkan visi yang berbeda mengenai jalur pembangunan sosialisme, yang kemudian memicu perdebatan panjang tentang efektivitas dan moralitas pendekatan mereka. Artikel ini akan mengupas kekeliruan dalam pemikiran dan tindakan keduanya, dengan merujuk pada literatur kiri yang relevan dan fakta-fakta terbaru yang tersedia.
Leon Trotsky: Revolusi Permanen dan Kegagalannya
Trotsky dikenal dengan teorinya tentang "revolusi permanen," yang menekankan bahwa revolusi sosialis harus berlanjut secara internasional tanpa berhenti pada batas nasional. Ia berargumen bahwa keberhasilan sosialisme di Uni Soviet bergantung pada ekspansi revolusi ke negara-negara lain, terutama di Eropa Barat. Menurut Trotsky, tanpa dukungan revolusi sosialisme di negara-negara maju, Uni Soviet akan tetap lemah dan rentan terhadap tekanan dari negara kapitalis.
Namun, pendekatan ini dikritik karena dianggap mengabaikan realitas politik dan ekonomi Uni Soviet yang masih rapuh pasca-revolusi. Uni Soviet pada saat itu tengah menghadapi perang saudara, embargo ekonomi dari Barat, dan ketidakstabilan internal. Menjalankan revolusi di luar negeri pada saat kondisi domestik masih berantakan dianggap sebagai tindakan yang terlalu ambisius dan tidak realistis. Bahkan dalam praktiknya, banyak negara yang tidak siap untuk menerima revolusi semacam itu, seperti yang terjadi dalam kegagalan Revolusi Jerman tahun 1918-1919.
Selain itu, Trotsky sering dituduh memiliki pendekatan yang terlalu teoretis dan kurang pragmatis. Kritik ini datang dari sesama kaum Marxis yang menganggap bahwa Trotsky lebih banyak berfokus pada doktrin dibandingkan dengan penerapan nyata sosialisme di dalam negeri. Obsesi Trotsky terhadap revolusi internasional membuatnya gagal merumuskan strategi pembangunan sosialisme yang sesuai dengan kondisi spesifik Uni Soviet. Hal ini mengakibatkan marginalisasi politiknya di dalam Partai Komunis dan akhirnya pengasingannya dari Uni Soviet pada tahun 1929.
Joseph Stalin: Sosialisme di Satu Negara dan Rezim Totaliter
Di sisi lain, Stalin mengusung konsep "sosialisme di satu negara," yang menekankan pembangunan sosialisme secara mandiri di Uni Soviet tanpa menunggu revolusi di negara lain. Pendekatan ini dianggap lebih realistis mengingat situasi internasional saat itu, di mana revolusi di negara lain mengalami kegagalan dan Uni Soviet harus bertahan sendiri dalam menghadapi tekanan dunia kapitalis.
Namun, implementasi kebijakan Stalin sering kali dikaitkan dengan metode represif dan otoriter. Stalin menerapkan kolektivisasi pertanian dan industrialisasi paksa yang menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Soviet. Kolektivisasi yang dipaksakan mengakibatkan kelaparan massal di Ukraina (Holodomor) yang menewaskan jutaan orang. Kebijakan-kebijakan ini mengakibatkan kelaparan massal dan penindasan terhadap petani serta kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai oposisi. Selain itu, era Stalin ditandai dengan "Pembersihan Besar-Besaran" (Great Purge) di mana banyak individu, termasuk anggota Partai Komunis sendiri, ditangkap, diadili, dan dieksekusi atas tuduhan yang sering kali tidak berdasar.
Meskipun kebijakan ekonomi Stalin berhasil menjadikan Uni Soviet sebagai kekuatan industri dan militer yang disegani, keberhasilan ini dicapai dengan harga yang sangat mahal. Kebebasan individu dan demokrasi dalam Partai Komunis dihancurkan, menciptakan sistem politik yang terpusat pada kultus individu. Stalin membangun sistem pemerintahan di mana perbedaan pendapat tidak ditoleransi, dan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman akan segera disingkirkan.
Kritik dari Literatur Kiri
Banyak pemikir kiri yang mengkritik baik Trotsky maupun Stalin atas pendekatan mereka. Trotsky dikritik karena dianggap terlalu fokus pada revolusi internasional dan kurang memperhatikan pembangunan sosialisme domestik. Sementara itu, Stalin dikritik karena metode otoriternya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi proletariat.
Leon Trotsky sendiri dalam karyanya Revolusi yang Dikhianati (The Revolution Betrayed) mengkritik keras birokratisasi yang terjadi di bawah kepemimpinan Stalin. Ia menyoroti bagaimana prinsip-prinsip awal revolusi telah dikhianati oleh munculnya kelas birokrat yang berkuasa. Menurut Trotsky, Stalin menciptakan negara yang lebih menyerupai kapitalisme negara ketimbang sosialisme sejati.
Di sisi lain, beberapa pemikir kiri seperti historiograf E.H. Carr dan Isaac Deutscher menilai bahwa meskipun Stalin menggunakan metode yang brutal, ia berhasil membangun Uni Soviet menjadi negara industri yang mampu menghadapi Perang Dunia II. Dalam bukunya Stalin: A Political Biography, Deutscher menggambarkan Stalin sebagai seorang pemimpin yang kejam tetapi efektif dalam mengubah Uni Soviet dari negara agraris menjadi kekuatan industri global.
Buku lain yang mengkritik Stalinisme adalah The Origins of Stalinism oleh Michael Reiman, yang membahas bagaimana kebijakan Stalin membawa dampak jangka panjang terhadap gerakan kiri global, terutama dalam membentuk citra buruk komunisme di mata dunia.
Kesimpulan
Baik Trotsky maupun Stalin memiliki visi dan pendekatan yang berbeda dalam membangun sosialisme di Uni Soviet. Trotsky dengan revolusi permanennya dikritik karena kurangnya pragmatisme dan kegagalannya memahami realitas politik Uni Soviet saat itu. Sementara itu, Stalin dengan sosialisme di satu negaranya dikritik karena metode represif dan otoriternya yang menciptakan negara yang menindas rakyatnya sendiri.
Trotsky dan Stalin adalah dua wajah dari eksperimen besar sosialisme yang pada akhirnya menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal. Perdebatan mengenai siapa yang lebih benar di antara keduanya masih terus berlanjut di kalangan intelektual kiri hingga hari ini. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa sejarah Uni Soviet di bawah kepemimpinan mereka berdua memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme dalam politik.
Dengan mempelajari kesalahan mereka, generasi kiri masa kini dapat mengambil pelajaran berharga dalam merancang strategi sosialisme yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga, sosialisme yang hanya mengandalkan kekerasan atau hanya terjebak dalam teori tanpa tindakan nyata tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kritik terhadap pemikiran Trotsky dan Stalin bukan hanya relevan sebagai tinjauan sejarah, tetapi juga sebagai refleksi untuk membangun gerakan kiri yang lebih efektif dan inklusif di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI