Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LGBTQ dalam Sorotan: Salah Secara Syariat, Keliru Bila Dirayakan, dan Kejam Jika Dipersekusi

20 April 2025   05:37 Diperbarui: 20 April 2025   05:37 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LGBTQ dalam Sorotan: Salah Secara Syariat, Keliru Bila Dirayakan, dan Kejam Jika Dipersekusi, gambar ilustrasi dibuat dengan AI

Di tengah dunia yang makin terbuka, perbincangan tentang LGBTQ tidak lagi terbatas di ruang privat. 

Simbol pelangi, ikon LGBTQ, muncul di berbagai lini—dari kampus, industri hiburan, hingga lembaga internasional. Isu ini bukan lagi sekadar soal hak, tapi telah bergeser menjadi bagian dari identitas global.

Namun, bagaimana seharusnya kita, terutama sebagai umat Islam di dalam menyikapinya? Apakah kita harus menyetujui paham LGBTQ demi toleransi? Ataukah menolaknya secara membabi buta hingga tanpa sadar jatuh pada persekusi?

Di sinilah pentingnya bersikap bijak. Bahwa mengembangkan ideologi LGBTQ adalah salah, menormalisasinya juga keliru, namun mempersekusi pelakunya adalah tindakan yang jauh dari nilai Islam.

Orientasi Seksual: Antara Rasa dan Aksi

Sains telah banyak meneliti tentang orientasi seksual. Berbagai riset menunjukkan bahwa kecenderungan seksual bisa dipengaruhi oleh faktor biologis, hormon prenatal, dan psikososial. 

Tapi tidak satu pun dari studi-studi itu menyatakan bahwa orientasi seksual adalah takdir yang tak bisa diubah, apalagi menjadi identitas yang wajib dirayakan.

Organisasi seperti American Psychiatric Association dan WHO memang menyatakan bahwa homoseksualitas bukan penyakit mental. Namun, mereka juga tidak mendorongnya sebagai pola hidup yang harus diikuti siapa pun. 

Mereka menolak terapi konversi, bukan karena memperbaiki orientasi itu salah, tetapi karena cara-cara kasar dan penuh tekanan dalam praktik terapi itu justru menyakiti jiwa.

Jadi, jika seseorang merasakan kecenderungan sesama jenis, itu adalah ujian, bukan identitas final. Dan Islam sangat paham soal ujian, sebagaimana Allah memahami tabiat ciptaan-Nya.

Islam dan Fitrah Seksualitas

Dalam Islam, seksualitas bukan hal yang kotor. Justru ia adalah bagian dari fitrah, sebagaimana disebut dalam QS Ar-Rum ayat 30. Allah menciptakan manusia berpasangan antara laki-laki dan perempuan, untuk saling melengkapi secara lahir dan batin.

Ketika ada yang menyimpang dari fitrah itu, seperti pada kisah kaum Nabi Luth, Islam dengan tegas menyebut perbuatan itu sebagai fahisyah, perilaku keji yang melampaui batas (QS Asy-Syu’ara: 165-166). 

Namun, yang penting untuk digarisbawahi: yang dikecam adalah perbuatannya, bukan eksistensi manusianya.

Adakah Kasus Serupa di Zaman Nabi dan Sahabat?

Jika merujuk pada literatur klasik Islam, fenomena homoseksual bukanlah hal baru. Bahkan Al-Qur’an sendiri telah mencatat kisah tragis kaum Nabi Luth yang menjadi simbol penyimpangan seksual secara terang-terangan.

Namun, apakah ada kasus serupa di masa Nabi Muhammad SAW?

Dikutip dari kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, salah satu ulama Hanbali, disebutkan bahwa tidak ada riwayat yang shahih tentang seseorang yang mengaku melakukan perbuatan homoseksual di masa Rasulullah secara terang-terangan. 

Kalaupun ada, kasusnya sangat jarang dan tidak dijadikan konsumsi publik, mengingat budaya malu dan takut akan dosa masih sangat tinggi di tengah masyarakat Islam saat itu.

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam kitab al-Halal wal-Haram fil Islam, tindakan homoseksual termasuk dosa besar, tetapi dalam penanganannya, Nabi lebih banyak menekankan pada pencegahan, tarbiyah, dan kontrol sosial berbasis adab dan iman, bukan sekadar hukuman.

Sementara itu, dikutip dari Musannaf karya Ibn Abi Syaibah (jilid 7), ada riwayat tentang seorang laki-laki yang memiliki ciri kewanitaan (mukhannats) di masa Nabi. 

Rasulullah SAW tidak langsung menghukumnya, namun menasihatinya dan memerintahkan agar tidak membaur dengan perempuan, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Dalam riwayat lain yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Rasulullah pernah mengusir seorang mukhannats dari rumah, tapi tidak mencelanya secara kejam, melainkan menegur dengan penuh hikmah. 

Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah kombinasi antara perlindungan masyarakat dan perlakuan manusiawi terhadap pelaku.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, terdapat pula riwayat bahwa beliau memerintahkan orang-orang yang dicurigai melakukan homoseksual untuk diasingkan, bukan dipersekusi. Hal ini dikutip dari Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Arabi.

Mengapa Merayakan LGBTQ itu Keliru

Mengampanyekan LGBTQ sebagai identitas yang patut dirayakan dan dipromosikan bukanlah bentuk kemajuan, melainkan bentuk kekeliruan baru. Ini sama saja dengan mengabadikan sebuah penyimpangan sebagai kebenaran baru.

Lebih dari itu, mendorong generasi muda untuk menerima segala bentuk "orientasi" tanpa bimbingan nilai justru membingungkan fitrah mereka sendiri.

Toleransi bukan berarti harus menyetujui semua gaya hidup. Dalam Islam, toleransi berarti menjaga adab dalam perbedaan, namun tetap teguh dalam prinsip.

Kembali kepada Fitrah, Kembali kepada Harapan

Apakah seseorang yang memiliki kecenderungan LGBTQ bisa berubah?

Jawabannya adalah: bisa, dengan izin Allah dan upaya sungguh-sungguh. Tidak semua orang mampu sepenuhnya menghapus rasa itu, tapi Islam tidak mewajibkan rasa, melainkan pengendalian diri dan pilihan amal.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”
(QS Al-Baqarah: 286)

Ada banyak kisah nyata orang yang bangkit dari kecenderungan ini, dan hidup dalam tuntunan syariat, meski butuh proses panjang, jatuh bangun, dan tentu, bimbingan ruhani.

Tegas dalam Prinsip, Lembut dalam Pendekatan

LGBTQ adalah fenomena global yang tak bisa diabaikan. Tapi sebagai umat Islam, kita harus mampu bersikap adil dan berimbang: menolak perilakunya, tanpa mencabut martabat kemanusiaan pelakunya.

Kita tidak butuh dunia yang bising dengan slogan “cinta adalah cinta” tanpa batas. Kita butuh dunia yang tahu di mana batas cinta harus ditempatkan, agar tetap suci, tetap manusiawi, dan tetap dalam lindungan fitrah yang Allah tetapkan.

Larangan terhadap LGBTQ bukan berarti kebencian. Tapi bentuk cinta Tuhan agar manusia tak kehilangan arah.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun