Keresahanku memuncak dan lintasan kata 'Jahiliyah' berputar-putar setelah membaca sebuah novel lama berjudul Dewi Besser yang ditulis Teguh Esha pada tahun 1978.Â
Bukan hanya sekadar karena gaya bahasanya, tapi karena isi ceritanya yang seolah tak lekang oleh waktu dan seakan kembali mewujudkan nuansa Jahiliyah di masa itu yang boleh dibilang tak berubah.
Cerita di novel itu menggambarkan wajah masyarakat yang hidup dalam kemunafikan, kebiadaban moral, dan dekadensi nilai.Â
Ironisnya, kondisi yang dipotret lebih dari 40 tahun lalu itu masih sangat relevan hingga hari ini. Yang berubah hanya bungkusnya. Sistemnya tetap. Akarnya masih kokoh.
Inilah yang membuatku sadar: Jahiliyah dan kebiadaban moral bukan milik masa lalu. Ia hidup di setiap zaman yang menolak petunjuk Tuhan.
Ketika Kehidupan Modern Masih Berwatak Jahiliyah
Sering kali kita merasa aman dengan klaim "zaman sudah modern", pantaskah?Â
Manakala arti kemajuan kemunafikan justru dilegalkan, prostitusi dilindungi dengan istilah baru, judi yang marak dan orang-orang yang paling vokal soal moral justru adalah pelaku dekadensi itu sendiri?
Inilah bentuk jahiliyah modern --- ketika kebodohan spiritual dan moral dibungkus dengan pencitraan, jabatan, bahkan simbol-simbol keagamaan.
Kita hidup dalam era informasi, tapi kehilangan makna.
Kita punya teknologi canggih, tapi gagal mengendalikan nafsu.