Paradigma reformasi mendorong terjadinya perubahan lintas sektoral yang prakteknya dilakukan secara bertahap, diantaranya perubahan dalam penyelengaraan tata kelola pemerintahan. Sangatlah tepat perubahan ditekankan pada sektor ini mengingat selama 32 tahun lamanya pemerintah orde baru memposisikan eksekutif sebagai kekuasaan yang absolut, eksklusif dan tunggal. Kewenangannya  tidak boleh disaingi oleh pihak manapun, apa yang dikehendaki pemerintah wajib diikuti  tanpa terkecuali.
Lembaga politik kembali pada posisinya yang tidak lagi menjadi ekor pemerintah melainkan sebagai penyeimbang. Dengan segala kewenangan yang melekat, legislatif dapat memberikan sanksi kepada pemerintah apabila dirasa ada penyalahgunaan wewenang (abouse of power). Masyarakat juga diberikan ruang menggunakan haknya untuk berpendapat di muka umum sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat (3) Â Undang-Undang Dasar 1945.
Pemajuan terhadap tata kelola pemerintahan terus dilakukan tujuannya tidak lain mewujudkan good-governance. Pemerintah melalui aparaturnya dituntut kembali kepada khitahnya sebagai pelayan masyarakat yang dalam prakteknya mengedepankan (1) Azas prosedural, bekerja sesuai dengan instrument regulasi yang berlaku. Â (2) Azas pelayanan berkeadilan tanpa kecurangan dan (3) azas persaingan yang sehat, setiap warga negara mendapatkan hak yang sama dalam bekerja.
Pada awal tahun 2020 penulis mendapatkan amanat dari Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Serang menjadi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia. Semula jabatan tersebut dianggap sangat asing bagi penulis. Wajar saja dalam keseharian penulis banyak menghabiskan waktu dalam pelaksanaan tugas teknis lapangan. Â
Secara bertahap penulis mempelajari  peraturan terkait pembangunan Zona Integritas  (ZI) dan mengamalkannya pada tugas kedinasan secara umum. Nasib baik belum memihak pada kantor penulis yang tidak mendapatkan predikat Wilayah Bersih Bebas dari Korupsi (WBBK) dari negara. Kegagalan tersebut menjadi magnet bagi penulis untuk terus belajar  memperdalam aturan tentang Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Pemerintah. Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak pembaca untuk bersama memahami pembangunan good-governance di Indonesia dari masa ke masa.
Undang-Undang nomor 28 tahun 1999
Keseriusan merubah paradigma dibuktikan dengan keluarnya Undang-Undang nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih,Bebas dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Â Pertimbangannya bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya.
Negara menuntut kepada Penyelenggara Negara dalam bentuk (1). mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya; (2). bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; (3). melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; (4). tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme; (5). melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; (6). melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (7). bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Masyarakat juga diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan seperti (a) hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; (b). hak untuk memperoleh kekayaan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; (c). hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan (d). hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2008