Mohon tunggu...
Surowono
Surowono Mohon Tunggu... Lainnya - Amatir

Pemuda desa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Yang Tak Kita Ketahui tentang Sepak Bola

19 November 2020   15:41 Diperbarui: 19 November 2020   15:47 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"I used to think that football was more important than life and death, but Jean-Paul made me realise that, like every-thing else, it was totally without meaning." -Bill Shankly

Menikmati sepak bola tak cukup dengan membeli tiket lalu duduk manis 90 menit di tribun VIP menyaksikan 22 pemain berlari-lari di atas rumput hijau, ditemani kacang rebus, arem-arem, dan tahu asin.  Lebih jauh, sepak bola bukan hanya tentang menang kalah, ada filosofi, ada taktik, ada proses, ada tangis dan tawa, ada cacian, ada pujian, ada kejutan, ada kekerasan, dan masih banyak lagi.

Kalian tentu bakal tak percaya bahwa sepak bola mampu memicu perang negara.? Namun, hal tersebut benar adanya, sepak bola mampu memicu perang. Seperti yang terjadi antara El Savador dan Honduras di tahun 1969 dan Perang Balkan di awal dasawarsa 1990-an. Meskipun begitu sepak bola juga pernah menjadi ajang perdamaian --menghentikan perang untuk sementara waktu, salah satu contohnya adalah Kisah Christmas Truce antara serdadu Jerman dan Inggris di Perang Dunia I.

Sepak bola menjelma sebagai alat diplomasi dan perjuangan, takkala tim sepak bola Bosnia & Herzegovina mengunakan sepak bola untuk meminta dukungan negara-negara di dunia untuk mengakui kemerdekaan mereka. Di masa perang kemerdekaan dengan Prancis, diplomasi serupa juga dilakukan oleh tim Aljazair bentukan FLN (Front de Liberation Nationale) yang dipimpin oleh Rachid Mekhloufi dan Moustapha Zitouni.

Mengapa harus sepak bola? Dari peristiwa di atas bisa dikatakan bahwa sepak bola dengan kesederhanaanya berhasil menjadi jembatan antara obyek atau wujud yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sepak bola menjadi ada. Ini bukan cocokologi atau sekedar menghubung-hubungkan, ini adalah fakta atas realitas yang terjadi.

Kita ambil contoh L'Etre et le Neant (Ada dan Tiada) dari Sartre. Secara konsep, L'Etre et le Neant merupakan peniadaan striker, dengan harapan adanya fluktuasi antara ada dan tiada dengan sesama striker. Bagaimana memainkan pemain --melalui pergantian yang "tak ada" di bench. Dari konsep tersebut terbentuk sebuah pola 4-4-1-0, mudahnya Sartre menggunakan seorang pemain dengan tidak menggunakannya.

Mari kita putar jarum jam untuk melihat apa yang terjadi di Belanda pada dasawarsa 70-an.

Melihat filosofi totaal voetbal racikan mujarap dari Belanda ramuan Rinus Michels, ia memanfaatkan karakter orang Belanda yang terbiasa memanfaatkan ruang sempit. Konsep yang digunakan adalah penafsiran ruang. Bagaimana menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin, lapangan menjadi luas bagi sebuah tim dan sebaliknya menjadi sempit bagi tim lawan? Cattenaccio, sistem pertahanan gerendel khas Itilia diciptakan oleh Helenio Herrera dengan mencontoh taktik verrou karya Karl Rappan dan memanfaatkan kekurangan fisik orang Italia. Malahan, pada tahun 1872 di pertandingan internasional perdana antara Inggris dan Skotlandia pertama kali menampilkan permainan dengan gaya beda. Sepakbola di Inggris berkembang dengan mengagungkan dribel, sementara Skotlandia memainkan bola dari kaki ke kaki atau umpan panjang.

Sebegitu banyaknya nilai dan ide yang terkandung dalam sepak bola, persoalan-persoalan di dalamnya dapat di analisis mengunakan ilmu sosial. Sebagai contoh, adanya pemain pemberontak seperti Socrates, Diego Maradona, Eric Cantona, dan Zlatan Ibrahimovic, dll. Kita dapat melihatnya dari asal kota mereka. Socrates dari Brazil. Maradona dari Kawasan kumuh Buenos Aires, Cantona dari pesisir di Marsille yang terkenal keras, sedangkan Ibra berasal dari keluarga imigran dan miskin yang terpinggirkan di Rosengrad.

Sepak bola memang begitu aneh. Bagaimana tidak, dalam buku 'Sepak bola Seribu Tafsir', Eddward S. Kennedy membuktikan bahwa tak ada jarak antara sepak bola dengan filsafat, kita dapat mengetahuinya melalui pemikiran beberapa tokoh seperti Alan Badiou, Antonio Nagri, dan Slavoj Zizek. Perang antara Honduras versus El- Savador dapat ditelaah mengunakan pemikiran Badiou, 'state of situation'. Pada saat gelaran Piala Dunia 2010, Zizek --filsuf paling berbahaya abad ini, telah memprediksi babak final melalui konsep The Real. Secara konsep The Real merupakan negasi --semacam ketidakmungkinan dari semua simbol maupun imaji yang mengepung rutinitas kehidupan manusia.

Kira-kira beginilah contohnya, kapan-kapan saksikanlah derby antara PSIM melawan Persis Solo di Mandala Krida. Jangan lupa mengenakan jersey Persis Solo, lalu berjalanlah menuju tribun selatan, tribun yang sering ditempati Brajamusti. Berdirilah di sana sambil dan nyanyikan chant "Alap-alap Sambernyawa". Tak sampai lima menit, Anda pasti langsung merasakan The Real secara terperinci.

Ruwet bukan, Ya memang seperti itulah realitas yang terjadi. Sejatinya tak ada relasi yang berjarak antara sepak bola dengan filsafat. Beberapa filsuf sendiri pernah bersinggungan langsung dengan olah raga si kulit bundar ini. Albert Camus saat menempuh pendidikan SMA di Algeria, sering bermain sepak bola dengan posisi sebagai penjaga gawang. Pada medio 1960-an, Sartre juga pernah menjadi pelatih di Stade Saint-German.

Pada akhirnya, sepak bola yang kita kenal bukanlah apa yang sebetulnya kita kenal. Ada begitu banyak tafsir tercipta dalam 2 x 45 menit, hal ini menunjukan bahwa sepak bola sangatlah kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun