Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... Penulis - CW

Journalist & Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Politik

AHY, Jadi Pionir Poros Ketiga atau Gabung Oposisi Penguasa?

5 Juli 2018   13:25 Diperbarui: 5 Juli 2018   13:44 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kembali santer dibicarakan jelang pendaftaran calon presiden untuk Pemilu 2019 yang hanya tinggal sebulan lagi. Pasalnya, cukup banyak yang berharap komandan Kogasma Partai Demokrat ini ikut tampil sebagai kontestan. Entah itu dengan menjadi pionir munculnya poros ketiga, atau bergabung ke salah satu kubu yang sudah dipastikan akan kembali berlaga. Melihat situasi politik terakhir, opsi kedua dirasa lebih mungkin untuk menjadi nyata.

Sebulan jelang masa pendaftaran, peta politik Tanah Air bergerak kian dinamis. Baru saja kader-kader Demokrat berupaya menginisiasi lahirnya poros ketiga, salah satunya dengan menduetkan Jusuf Kalla (JK)-AHY, atau bisa pula Anies Baswedan-AHY, kini mengapung lagi opsi Prabowo Subianto-AHY. Wacana yang dulu juga sempat mengemuka, dan nyaris tidak mendapat resistensi, baik dari kedua kubu maupun dari rekan koalisi.

Berduet dengan JK atau Anies dengan membentuk poros ketiga, memang agak mustahil untuk dilakukan saat ini. Akibat syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, membuat partai politik saling sandera, karena masing-masing mereka "jual mahal" untuk diajak membangun kerjasama.

Rumor yang beredar, "harga dukungan" saat ini mencapai Rp500 miliar hingga Rp1 triliun. Politisi atau parpol mana yang cukup gila "membeli perahu" semahal itu? Jaminan menang tidak ada, dan lawan yang dihadapi adalah petahana bersama koalisi oposisi pula. Jadi tidak masuk akal jika memaksakan diri membangun poros ketiga.

Sama mustahilnya dengan wacana AHY merapat ke kubu petahana. Ada dua alasan kuat kenapa putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sulit menjadi calon pendamping Joko Widodo (Jokowi). Pertama, sejak dulu hingga sekarang, PDI Perjuangan tak pernah bisa seiring sejalan dengan Demokrat. Jadi, tak mungkin Megawati Soekarnoputri akan berkenan memberikan "karpet merah" kepada rival bebuyutannya itu.

Alasan kedua, sejumlah parpol yang berada di koalisi pemerintah, tentu akan berupaya menjegal duet ini. Mereka juga punya kepentingan untuk menyodorkan jagoan masing-masing agar dipinang oleh Jokowi. Masuknya "orang baru" tentu tak bisa diterima begitu saja. Lantaran mereka sudah berdarah-darah sejak awal pemerintahan, lalu mendeklarasikan dukungan, hingga sudah terlanjur mengkampanyekan jagoan.

Karena itulah, yang paling mungkin bagi AHY dan Demokrat adalah bergabung dengan oposisi penguasa. Beberapa waktu lalu, Gerindra sudah membuka tangan lebar-lebar untuk membangun ruang dialog bersama. Rekan oposisi lainnya, yaitu PKS, juga tampak berlapang dada. Meski tetap mengapungkan calon untuk mendampingi Prabowo, namun mereka mengaku legowo jika yang dipilih akhirnya adalah AHY.

Memang, banyak pihak menilai, duet Probowo-AHY akan lebih mungkin untuk memenangi kontestasi. Pertama, pasangan ini dirasa mampu mengambil ceruk pemilih yang menginginkan tampuk kepemimpinan negeri ini berganti. Dengan bergabungnya dua tokoh ini, maka suara pendukung oposisi tidak akan terbelah lagi.

Kubu kubu ini semestinya bisa belajar dari pengalaman di Pilkada Jawa Barat 2018. Di pemilihan ini, suara oposisi pemerintah terbagi, sebagian mendukung jagoan Gerindra-PKS, sisanya memilih kandidat dari Demokrat. Hasilnya, keduanya sama-sama tumbang dari kandidat penguasa, karena mereka relatif satu suara.

Aspek kedua adalah persoalan elektabilitas. Hampir dari semua hasil survei, tingkat keterpilihan Prabowo kalah dari Jokowi. Sementara, elektabilitas AHY selalu menguntit di posisi ketiga. Jadi jika dua kekuatan ini digabungkan, bukan tak mungkin peluang keterpilihan mereka melejit, sehingga berpeluang menumbangkan petahana.

Memang dalam politik semua bisa terjadi. Dalam waktu sebulan tersisa ini, mungkin saja bisa terjadi perubahan yang sangat signifikan. Terutama jika Mahkamah konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi UU Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga menghapus aturan presidential threshold. Dengan begitu, setiap parpol memiliki kesempatan yang sama untuk mengusung capres masing-masing. Tidak akan ada lagi bipolar dalam politik Indonesia, dan parpol tidak bisa lagi saling sandera dengan mematok "harga". Dan yang terpenting, publik akan lebih leluasa menentukan kandidat pemimpin yang mereka suka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun