Mohon tunggu...
Diki Aulia Rahman
Diki Aulia Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis dan Fotografer Nasional

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Ciamis sampai Jakarta: Catatan KKL yang Mengubah Cara Pandang Saya

25 Juli 2025   19:00 Diperbarui: 28 Juli 2025   15:33 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto mahasiswa Unigal di Badan Bahasa (Sumber: Farid/Rizquna Travel))

Jakarta dan Ciamis dua nama dengan nuansa yang begitu kontras. Ciamis, dengan ritme kehidupan kampus yang tenang dan asri, menjadi tempat kami menempa ilmu setiap harinya. Namun, ketika mendengar kabar bahwa kami akan melakukan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Jakarta, jantung rasanya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada antusiasme yang membuncah, tapi juga kegugupan yang diam-diam menyelinap. Bagaimana rasanya bertemu langsung dengan para profesional dari lembaga-lembaga penting yang selama ini hanya kami baca di buku atau lihat di layar.

Saya, Diki Aulia Rahman, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Galuh, merasa bahwa KKL ini yang berlangsung pada 21 hingga 24 Juli 2025 bukan sekadar SKS dan jalan-jalan edukatif biasa. Ini adalah perjalanan pencarian makna yang melihat dari dekat bagaimana bahasa, riset, dan media dijalankan secara nyata di dunia kerja profesional. Ternyata, dari kunjungan singkat ini, saya menemukan pelajaran hidup yang jauh lebih besar daripada yang pernah saya bayangkan sebelumnya.

Badan Bahasa: Menjaga Denyut Jati Diri

Kunjungan kami ke Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, atau yang lebih dikenal sebagai Badan Bahasa, terasa seperti kembali ke akar pulang ke rumah bagi kami, mahasiswa Bahasa Indonesia. Di sinilah bahasa kita dikembangkan, dilindungi, diinternasionalkan, dan disinilah bagaimana pembinaan bahasa dilakukan. Bukan hanya soal ejaan atau tata bahasa, tapi juga bagaimana bahasa Indonesia bisa terus hidup, adaptif, dan bermartabat di tengah gempuran zaman.

Kami melihat ruangan-ruangan kerja yang tenang namun produktif. Di sana ada para ahli bahasa yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti ragam bahasa daerah, menyusun kamus, merumuskan kebijakan kebahasaan, dan banyak lagi. Suatu hal yang sebelumnya hanya kami baca dalam modul perkuliahan, kini tampil nyata di depan mata.

Saya jadi sadar, pekerjaan mereka mungkin senyap, tapi dampaknya luar biasa besar. Bahasa adalah jati diri bangsa. Dan menjaga bahasa, berarti menjaga identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Sebuah tugas yang tidak kalah mulia dari perjuangan di bidang lain.

BRIN: Api Semangat Riset yang Tak Pernah Padam

Begitu kaki kami menjejak halaman gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ada suasana serius dan agung yang langsung terasa, hawa AC yang dingin, bau kertas-kertas penelitian, atau keheningan yang terasa di lorongnya. Bangunannya modern, dengan kesan intelektual yang kuat. Kami tahu, di balik dinding-dinding itu, berbagai riset besar tentang bangsa ini tengah berlangsung. Riset yang tak hanya berhenti di laboratorium, tetapi menjangkau masyarakat, pendidikan, bahkan kebijakan negara.

Salah satu momen paling berkesan adalah saat kami mendengarkan sambutan dari Ibu Ade Mulyanah, S.Pd., M.Hum., selaku Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, beliau menyatakan, 'Riset bukan sekadar meneliti dan menuangkannya di kertas. Riset adalah kegiatan mulia yang dapat berdampak besar bagi kehidupan umat manusia.' selain itu beliau juga mengajak keterbukaannya bagi mahasiswa untuk berkontribusi di BRIN dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan. "Kami berharap mahasiswa dapat ikut ambil bagian dalam program magang atau kolaborasi riset lainnya di BRIN. Bahasa dan sastra adalah bagian penting dalam membangun peradaban bangsa dan budaya," ujarnya.

Saya terdiam sejenak. Saya duduk tertegun di kursi, pesan Ibu Ade masih terngiang-ngiang. Selama ini saya kira ... riset hanya milik mereka yang bergelut dengan angka dan laboratorium. Tapi di sana, saya merasa bahwa sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, saya pun punya ruang untuk ikut membangun Indonesia melalui bahasa, melalui sastra, melalui penelitian. Ternyata, menjadi pegiat bahasa bukan hanya soal berbicara dan menulis, tapi juga meriset, mencatat perubahan, dan menjaga warisan budaya lewat ilmu.

Metro TV: Di Balik Layar Informasi Bangsa

Foto sesi diskusi mahasiswa Unigal dengan Metro TV (Sumber: Keysa Salsabila)
Foto sesi diskusi mahasiswa Unigal dengan Metro TV (Sumber: Keysa Salsabila)

Hari berikutnya kami melangkah ke dunia yang jauh berbeda. Metro TV, stasiun televisi yang sudah akrab di layar kaca. Dari luar terlihat seperti kantor besar pada umumnya, tapi begitu masuk, atmosfernya langsung berubah dinamis, hidup, dan penuh pergerakan. Suara ketikan keyboard yang cepat, dering telepon, atau aba-aba dari produser di studio. Ini adalah tempat di mana informasi dilahirkan dan disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri setiap hari, setiap jam.

Kami beruntung bisa berdiskusi langsung dengan Ibu Azalea Aniendita Natasya, Corporate Communications Officer Metro TV. Beliau menjelaskan tentang bagaimana berita dirancang, ditulis, disunting, hingga akhirnya ditayangkan. Kami mendengar langsung tentang pentingnya akurasi, kecepatan, dan integritas dalam dunia jurnalistik. Rasanya luar biasa bisa mendapatkan ilmu langsung dari orang yang setiap harinya bekerja menyuarakan suara bangsa.

Setelah itu, kami diajak berkeliling studio siaran yang megah, ruang redaksi yang sibuk namun rapi, hingga ruang kerja para staf. Semua tertata dengan ritme kerja yang disiplin. Saya terpesona melihat bagaimana teknologi dan manusia bersatu demi menyampaikan informasi yang berkualitas.

Sebagai calon pendidik, saya belajar bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tugas guru di kelas. Media massa, seperti Metro TV, adalah "kelas besar" yang menjangkau jutaan orang. Dan kuncinya tetap sama menyampaikan kebenaran dengan cara yang mendidik.

Motivasi di Setiap Cerita

Tiga lembaga. Tiga dunia yang berbeda. Namun dari setiap kunjungan, saya menangkap satu benang merah yang tak terbantahkan yaitu "semangat pengabdian". Entah itu para ahli bahasa di Badan Bahasa yang setia merawat jati diri bangsa, para peneliti di BRIN yang tak lelah menggali pengetahuan, atau tim di Metro TV yang bekerja menjaga kredibilitas informasi, semuanya berjalan dalam satu irama yaitu "berjuang untuk Indonesia". Masing-masing mereka mungkin tidak saling kenal, namun semangat mereka bersatu dalam diam, dedikasi tanpa henti untuk kebaikan bersama.

Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa ungkapan "berguna bagi nusa dan bangsa" bukanlah slogan kosong yang hanya dikutip saat upacara. Ia adalah kenyataan hidup, yang dijalani setiap hari oleh para profesional yang bekerja dengan hati dan integritas. Dan kini, saya merasa terpanggil untuk ikut mengambil bagian dalam perjuangan itu. Saya mungkin tidak bekerja di ruang siaran atau laboratorium, tapi saya punya tempat saya sendiri di ruang kelas, di buku-buku bahasa, di baris-baris puisi dan karya tulis. Dari sanalah saya ingin berkontribusi. Karena menjadi berguna tidak harus menunggu nanti, tapi bisa dimulai dari sekarang dari bidang yang saya tekuni.

Sebelum benar-benar pulang, kami menyempatkan diri singgah di Dunia Fantasi (Dufan), Ancol. Bukan sekadar rekreasi biasa, kunjungan ke Dufan menjadi momen untuk melepaskan semua ketegangan yang sempat menumpuk selama perjalanan. Di balik teriakan di wahana dan tawa lepas di tengah keramaian, ada proses pengisian ulang energi setelah banyak menyerap inspirasi, belajar dari para profesional, dan merenungi masa depan.

Di sana, kami belajar bahwa untuk terus melangkah, kita juga perlu berhenti sejenak. Bahwa keceriaan dan jeda adalah bagian dari proses tumbuh. Dan ketika akhirnya bus bergerak meninggalkan Jakarta, kami pulang bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan semangat yang baru: semangat untuk berkarya, untuk meneliti, untuk mendidik, dan untuk terus berkontribusi.

Kami mungkin pulang ke Ciamis, tetapi sebagian dari semangat para pejuang ilmu di ibu kota itu kami bawa serta. Perjalanan KKL telah usai, tetapi perjalanan untuk berkontribusi baru saja dimulai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun