Perjuangan Efisiensi di Tengah Badai Krisis
Oleh Dikdik Sadikin
Disiplin anggaraan sering terasa pahit. Tetapi dari hal itu lah lahir penyelamatan: bukan hanya angka yang dipotong, tapi ilusi yang ditelanjangi. Sebab krisis selalu menelan kapal, dan hanya mereka yang berani menanggalkan beban sia-sia yang akan tetap terapung.
(Cerita dalam artikel ini merupakan kasus nyata yang dilakukan seorang kolega ketika bekerja di sebuah bank swasta nasional pada masa krisis 1997. Nama-nama disamarkan demi kerahasiaan pihak-pihak terkait dalam tulisan.)
Babak I: Mandat di Tengah Krisis
1997. Rupiah jatuh seperti dilempar dari atap pencakar langit. Di televisi, angka kurs berganti tiap jam, seperti jam pasir yang bocor. Antrean nasabah yang resah mengular di bank-bank; wajah-wajah yang memandang papan kurs dolar lebih lama daripada wajah anaknya sendiri.
Di ruang rapat berpanel kayu, seorang auditor bernama Fred---sebut saja begitu---dipanggil. Selama ini ia hidup di balik berkas, sunyi, tenggelam dalam angka. Kini ia didorong ke panggung depan.
"Mulai hari ini, kamu pimpin proyek efisiensi," ujar Direktur Operasional.
"Kenapa saya?" Fred bertanya pelan.
"Karena kamu berani. Dan karena yang lain lebih memilih aman."
Sejak itu Fred bukan lagi sekadar auditor. Ia ditakdirkan menjadi tukang gergaji, mencincang dahan yang rapuh---dahan yang selama ini menjadi kursi empuk.