Mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.
KITA tak pernah sungguh siap menghadapi alam apa adanya.Â
Bahkan dalam hal sesederhana rasa buah, manusia cenderung menolak yang asli, dan mendambakan yang nyaman. Jeruk yang masam, salak yang sepet---dua anak kandung tanah tropis---perlahan disulap menjadi manis, lembut, dan patuh pada selera.Â
Maka manusia bersorak: tak ada lagi jerit lidah yang mengernyit. Tapi mungkin ada yang turut lenyap dalam euforia itu: pelajaran dari getir.
Pada satu musim, saya mencicip jeruk varietas lokal dari pegunungan Tanggamus, Lampung. Asamnya menyentak, menyisakan jejak getir di ujung lidah. Lalu saya bandingkan dengan jeruk "baby" impor dari California: manis, polos, dan nyaris tak memberi kejutan. Yang satu seperti puisi Chairil "tajam dan melawan". Yang satu seperti iklan pasta gigi "ramah dan mudah ditelan".
"Apa yang menyembuhkan sering kali pahit," tulis Hippocrates. Tapi kita hidup di zaman ketika pahit dianggap cacat. Maka datanglah para pemulia tanaman, atau sebut saja desainer genetik, para ahli genetika molekuler, menyilangkan gen rasa, menyunting kodrat buah, agar manusia tak lagi mengernyit. Rasa asam diturunkan; kandungan fruktosa dinaikkan.Â
Dalam jeruk varietas baru seperti Citrus sinensis, kandungan sukrosa bisa mencapai 9--12%, lebih tinggi dari varietas lokal yang hanya 6--7%. Salak pondoh, yang kini mendominasi pasaran, memiliki kadar tanin yang lebih rendah daripada salak Bali atau salak sidempuan.Â
Di balik rasa manis itu, sesuatu perlahan hilang: zat yang dulu disebut orang tua kita sebagai "penetral perut".
Ilmu pengetahuan datang membawa obor perubahan, tapi kadang lupa bahwa nyala yang menerangi bukan satu-satunya kebutuhan.Â
Dalam satu studi yang dilakukan di University of Illinois (2020), ditemukan bahwa proses desain genetik rasa buah untuk menghilangkan senyawa pahit seperti flavonoid dan tanin bisa menurunkan kandungan antioksidan hingga 30--50%.Â
Padahal, flavonoid itulah yang melindungi tubuh dari peradangan, penuaan dini, dan bahkan kanker.
Plato, dalam Gorgias, pernah menyindir para pembuat kesenangan. "Mereka", kata filsuf itu, "seperti juru masak yang hanya peduli rasa, bukan kesehatan". Dalam dunia buah yang dipoles ini, kita semua tampaknya adalah pelanggan juru masak itu. Kita lebih suka buah yang manis dan mudah ditelan daripada yang getir namun menyembuhkan. Kita menolak pahit, tapi justru kehilangan pelindung dari penyakit.
Kita seolah hidup dalam paradoks: ingin sehat, tapi menolak rasa yang menyehatkan. Maka menjadi masuk akal bahwa Indonesia, negeri tropis yang melimpah buah, justru menghadapi krisis diabetes yang kian menggunung.Â
Data Riskesdas 2018 menyebutkan prevalensi diabetes meningkat menjadi 10,9% dari populasi dewasa.Â
Tahun 2024, BPJS mencatat pengeluaran terbesar kedua dalam biaya klaim kesehatan nasional adalah untuk pengobatan diabetes. Kita mengunyah manis yang memperlambat, bukan pahit yang menyembuhkan.
Negara-negara lain belajar menerima rasa. Di Jepang, buah ume (plum) diawetkan dengan garam, dan tetap dijual dalam rasa asam yang ekstrem. Di Korea, kimchi difermentasi hingga menusuk.Â
Sedangkan di Italia, arugula dan endive dimakan segar meski pahit. Sementara kita, yang dahulu hidup berdampingan dengan daun pepaya dan pare, kini tak lagi sabar menghadapi rasa.
Manusia sering lupa bahwa rasa bukan hanya soal selera, tapi juga soal sejarah. Setiap astringensi dalam buah salak adalah kisah tentang tanin yang melawan mikroba. Setiap getir dalam jeruk nipis adalah nyanyian kecil vitamin C yang menghalau skorbut para pelaut. Bila kita hilangkan semua itu, apa yang tersisa selain gula?
Barangkali, dalam hal buah pun, kita butuh pelajaran dari puisi. Penyair Rusia Anna Akhmatova pernah menulis, "Ada rasa yang hanya bisa tumbuh dari luka." Kita, dengan rekayasa dan ambisi, justru ingin menghilangkan semua luka, semua rasa yang tak nyaman, dan pada akhirnya semua pelajaran.
Di satu titik, manusia akan bertanya: mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.
Dan mungkin, seperti semua yang terlalu dimaniskan, kita akan menemui akhirnya dalam kejenuhan dan sakit yang diam-diam bertunas.
Ingin saya akhiri catatan ini dengan pertanyaan kecil: Apakah kita masih sanggup mencintai rasa yang jujur, meski tidak menyenangkan?
Oleh Dikdik Sadikin
Bogor, 29 Juli 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI