Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ada yang Hilang dari Salak yang Tidak Lagi Sepet

29 Juli 2025   14:34 Diperbarui: 30 Juli 2025   13:13 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memilih salak di pasar. (Sumber: SHUTTERSTOCK/Wiwijayanti via kompas.com)

Plato, dalam Gorgias, pernah menyindir para pembuat kesenangan. "Mereka", kata filsuf itu, "seperti juru masak yang hanya peduli rasa, bukan kesehatan". Dalam dunia buah yang dipoles ini, kita semua tampaknya adalah pelanggan juru masak itu. Kita lebih suka buah yang manis dan mudah ditelan daripada yang getir namun menyembuhkan. Kita menolak pahit, tapi justru kehilangan pelindung dari penyakit.

Kita seolah hidup dalam paradoks: ingin sehat, tapi menolak rasa yang menyehatkan. Maka menjadi masuk akal bahwa Indonesia, negeri tropis yang melimpah buah, justru menghadapi krisis diabetes yang kian menggunung. 

Data Riskesdas 2018 menyebutkan prevalensi diabetes meningkat menjadi 10,9% dari populasi dewasa. 

Tahun 2024, BPJS mencatat pengeluaran terbesar kedua dalam biaya klaim kesehatan nasional adalah untuk pengobatan diabetes. Kita mengunyah manis yang memperlambat, bukan pahit yang menyembuhkan.

Negara-negara lain belajar menerima rasa. Di Jepang, buah ume (plum) diawetkan dengan garam, dan tetap dijual dalam rasa asam yang ekstrem. Di Korea, kimchi difermentasi hingga menusuk. 

Sedangkan di Italia, arugula dan endive dimakan segar meski pahit. Sementara kita, yang dahulu hidup berdampingan dengan daun pepaya dan pare, kini tak lagi sabar menghadapi rasa.

Manusia sering lupa bahwa rasa bukan hanya soal selera, tapi juga soal sejarah. Setiap astringensi dalam buah salak adalah kisah tentang tanin yang melawan mikroba. Setiap getir dalam jeruk nipis adalah nyanyian kecil vitamin C yang menghalau skorbut para pelaut. Bila kita hilangkan semua itu, apa yang tersisa selain gula?

Barangkali, dalam hal buah pun, kita butuh pelajaran dari puisi. Penyair Rusia Anna Akhmatova pernah menulis, "Ada rasa yang hanya bisa tumbuh dari luka." Kita, dengan rekayasa dan ambisi, justru ingin menghilangkan semua luka, semua rasa yang tak nyaman, dan pada akhirnya semua pelajaran.

Di satu titik, manusia akan bertanya: mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.

Dan mungkin, seperti semua yang terlalu dimaniskan, kita akan menemui akhirnya dalam kejenuhan dan sakit yang diam-diam bertunas.

Ingin saya akhiri catatan ini dengan pertanyaan kecil: Apakah kita masih sanggup mencintai rasa yang jujur, meski tidak menyenangkan?

Oleh Dikdik Sadikin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun