Plato, dalam Gorgias, pernah menyindir para pembuat kesenangan. "Mereka", kata filsuf itu, "seperti juru masak yang hanya peduli rasa, bukan kesehatan". Dalam dunia buah yang dipoles ini, kita semua tampaknya adalah pelanggan juru masak itu. Kita lebih suka buah yang manis dan mudah ditelan daripada yang getir namun menyembuhkan. Kita menolak pahit, tapi justru kehilangan pelindung dari penyakit.
Kita seolah hidup dalam paradoks: ingin sehat, tapi menolak rasa yang menyehatkan. Maka menjadi masuk akal bahwa Indonesia, negeri tropis yang melimpah buah, justru menghadapi krisis diabetes yang kian menggunung.Â
Data Riskesdas 2018 menyebutkan prevalensi diabetes meningkat menjadi 10,9% dari populasi dewasa.Â
Tahun 2024, BPJS mencatat pengeluaran terbesar kedua dalam biaya klaim kesehatan nasional adalah untuk pengobatan diabetes. Kita mengunyah manis yang memperlambat, bukan pahit yang menyembuhkan.
Negara-negara lain belajar menerima rasa. Di Jepang, buah ume (plum) diawetkan dengan garam, dan tetap dijual dalam rasa asam yang ekstrem. Di Korea, kimchi difermentasi hingga menusuk.Â
Sedangkan di Italia, arugula dan endive dimakan segar meski pahit. Sementara kita, yang dahulu hidup berdampingan dengan daun pepaya dan pare, kini tak lagi sabar menghadapi rasa.
Manusia sering lupa bahwa rasa bukan hanya soal selera, tapi juga soal sejarah. Setiap astringensi dalam buah salak adalah kisah tentang tanin yang melawan mikroba. Setiap getir dalam jeruk nipis adalah nyanyian kecil vitamin C yang menghalau skorbut para pelaut. Bila kita hilangkan semua itu, apa yang tersisa selain gula?
Barangkali, dalam hal buah pun, kita butuh pelajaran dari puisi. Penyair Rusia Anna Akhmatova pernah menulis, "Ada rasa yang hanya bisa tumbuh dari luka." Kita, dengan rekayasa dan ambisi, justru ingin menghilangkan semua luka, semua rasa yang tak nyaman, dan pada akhirnya semua pelajaran.
Di satu titik, manusia akan bertanya: mengapa rasa buah terasa semakin sama? Mengapa tak lagi ada kejutan di lidah? Mungkin karena kita telah mengedit dunia agar sesuai keinginan, bukan kebijaksanaan. Kita ingin manis yang terus menerus, padahal kehidupan justru tumbuh dari keseimbangan antara pahit, asam, dan getir.
Dan mungkin, seperti semua yang terlalu dimaniskan, kita akan menemui akhirnya dalam kejenuhan dan sakit yang diam-diam bertunas.
Ingin saya akhiri catatan ini dengan pertanyaan kecil: Apakah kita masih sanggup mencintai rasa yang jujur, meski tidak menyenangkan?
Oleh Dikdik Sadikin