Sebab, seperti dikatakan Borges: "Kita membaca agar kita tidak menjadi asing di dunia ini" (This Craft of Verse, 1971).
Dalam presentasinya, Pogadaev bukan saja menjelaskan proses teknis penerjemahan, tapi juga menyingkapkan misteri yang selalu menyertai upaya memindahkan jiwa satu bahasa ke dalam bahasa lain. "Setiap bahasa memiliki ritmenya sendiri," tulis Umberto Eco, "dan penerjemahan bukan soal padanan kata, tapi kesetiaan pada atmosfer."
Acara tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dari komunitas Rusia di Malaysia.
Hadir Marina Vasilyevna Latypova, istri Duta Besar Rusia, serta Anwar Ridwan dan Abdulla Samad Said---dua sastrawan nasional Malaysia. Ridwan, yang juga Ketua Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), bahkan menyatakan bahwa karya Pogadaev memperluas cakrawala pembaca Melayu untuk mengenali "roh" kesusastraan Rusia, sejajar dengan karya Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, dan Mikhail Lermontov yang juga telah diterjemahkan Pogadaev sebelumnya.
Pogadaev bukan pemain baru dalam panggung lintas bahasa ini. Sejak awal 2000-an, ia telah menerbitkan sejumlah karya yang menjembatani literatur Rusia dan Melayu. Ia telah menerjemahkan "Hadji Murat" (Tolstoy), "Taras Bulba" (Gogol), dan "Pahlawan Zaman Kita" (Lermontov). Namun yang ia bawa sebenarnya bukan sekadar karya. Yang ia bawa adalah sebuah kesaksian: bahwa kita masih bisa membaca dunia lain, tanpa harus menjadi bagian dari koloninya.
***
Namun, mengapa ini penting? Mengapa seorang pria Rusia yang menerjemahkan cerita-cerita Chekhov ke dalam bahasa Melayu patut mendapatkan perhatian lebih dari sekadar berita budaya pinggiran?
Karena dalam dunia yang penuh kegaduhan dan narasi tunggal, upaya menerjemahkan adalah tindakan politik sunyi yang radikal. Ia menolak batas. Ia membuka pintu. Dan dalam konteks Asia Tenggara, di mana nasionalisme sering kali dikurung dalam bahasa masing-masing, kehadiran karya Rusia dalam bahasa Melayu adalah sebuah jembatan yang jarang dibangun.
Data UNESCO menyebutkan bahwa lebih dari 60% buku di dunia hanya diterjemahkan ke dalam lima bahasa: Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, dan Jepang. Bahasa Melayu nyaris tidak masuk dalam daftar tersebut.
Maka kehadiran Viktor Pogadaev dalam ruang kecil di Kuala Lumpur itu, sesungguhnya adalah sebentuk perlawanan terhadap invisibilitas. Ia membuat bahasa Melayu hadir dalam percakapan dunia. Ia menyodorkan pembaca Melayu pada kisah Chekhov tentang cinta yang tak selesai, keheningan yang tak terbaca, dan waktu yang tak kembali, tanpa harus membaca dalam bahasa aslinya.
Saya teringat kata-kata penyair Indonesia Goenawan Mohamad: "Membaca adalah cara kita merasakan apa yang tidak pernah kita alami." Maka, menerjemahkan adalah memberi pengalaman itu kepada orang lain---agar mereka bisa merasakan Rusia dalam dialek Melayu, mengenali Salju Moskow melalui hujan tropis, mendengar denting samovar dari bunyi piring seng di warung kopi.