Pintu-Pintu yang Perlahan Ditutup di Balik Angka Pertumbuhan
Oleh Dikdik Sadikin
Kita adalah bangsa yang gemar membuat narasi kebangkitan, tetapi sering abai pada suara runtuh.
TAK ADA yang lebih sunyi dari suara pintu yang pelan-pelan ditutup.Â
Bukan karena tak berbunyi, tetapi karena gema keheningannya jauh lebih panjang daripada dentumannya. Seperti itu pula yang kini terdengar di lorong ekonomi kita: satu per satu pintu industri ditutup. Perlahan. Menyisakan jejak merah yang tak kunjung kering.
Pintu startup telah disapu arwah bernama fraud. Dalam tiga bulan pertama 2024 saja, Startup Report Indonesia mencatat sedikitnya 5.711 pekerja terkena PHK, sebagian besar akibat kebangkrutan atau skandal keuangan seperti pada kasus eFishery, startup aquatech yang sebelumnya dielu-elukan sebagai "unicorn dari desa", kini justru dilaporkan dalam sorotan dugaan rekayasa keuangan. Tak hanya merusak kepercayaan, kasus ini menjadi efek domino. Investor, yang dahulu datang seperti hujan deras, kini menjauh seperti musim kemarau yang datang lebih cepat dari seharusnya.
Setelahnya, pintu tekstil ikut terkuak oleh angin "kiamat industri garmen". Per Maret 2025, PHK di Sritex, salah satu raksasa garmen tanah air, telah mencapai 11.025 orang (CNBC Indonesia, 11 Maret 2025).Â
Penyebabnya klasik: pesanan menurun, harga bahan baku naik, dan ketidakmampuan bersaing di pasar global. Tapi jika ditelisik lebih dalam, bukan hanya itu:Â
Vietnam dan Bangladesh kini menjelma jadi raksasa tekstil baru: upah buruh yang kompetitif, iklim usaha yang stabil, dan insentif ekspor yang progresif. Di saat kita sibuk memperdebatkan peraturan turunan UU Cipta Kerja, negara tetangga melaju tanpa banyak gembar-gembor.
Di lorong yang sama, media menjadi lorong sunyi lain yang baru saja digarami.Â
NET pamit lebih dulu, lalu ANTV, dan sejumlah media digital lainnya. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang 2024, lebih dari 1.200 jurnalis dan staf media terkena PHK. Di tengah pergeseran konsumsi konten ke platform video pendek dan algoritma yang menguntungkan clickbait dibanding konten berkualitas, media tradisional kehilangan relevansi dan pendanaan. Laporan dari Reuters Institute tahun 2024 menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap media di Indonesia hanya 39%, lebih rendah dari Filipina (45%) dan jauh di bawah Finlandia (69%), negara dengan ekosistem media paling sehat.
Lalu pintu hotel. Di Bogor, empat hotel gulung tikar di awal tahun 2025 (BeritaSatu, 2025). Industri perhotelan yang sempat pulih pasca-pandemi kini kembali guncang. Beban operasional, ketergantungan pada event pemerintah, dan tekanan dari aplikasi penyewaan harian berbasis digital membuat hotel-hotel kelas menengah kesulitan bersaing. Belum lagi fakta bahwa tingkat okupansi hotel nasional pada Kuartal 1 2025 masih stagnan di angka 52%, jauh lebih rendah dibanding Thailand (61%) dan Malaysia (64%).
Kita menyebutnya disrupsi. Kita menamainya transisi. Tapi dalam semua terminologi itu, manusia, yang sering hanya menjadi lampiran dalam laporan keuangan, terlempar ke trotoar ekonomi informal. Tanpa perlindungan. Tanpa payung. Bahkan, kadang tanpa nama.
"Data is not about numbers. It's about lives."
- Hans Rosling, ahli statistik dan pendiri Gapminder Foundation.
Mungkin itu pula yang kini kita lupakan.Â
Kita menyandarkan harapan pada angka pertumbuhan, tapi melupakan bahwa setiap angka yang naik seringkali menyembunyikan hidup yang melorot.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87% (y-on-y), melambat dari 5,11% pada periode yang sama tahun lalu (BPS, 5 Mei 2025). Meski terlihat masih tumbuh, tetapi jumlah penganggur justru bertambah, dari 7,20 juta orang pada Februari 2024 menjadi 7,28 juta orang pada Februari 2025, karena pertumbuhan angkatan kerja tidak diimbangi penyerapan lapangan kerja yang cukup (BPS, 5 Mei 2025).
Yang lebih mengkhawatirkan, pengangguran terdidik justru meningkat tajam: tingkat pengangguran lulusan S1 ke atas naik menjadi 6,23% dibanding tahun lalu yang hanya 5,25% (DetikEdu, 5 Mei 2025). Lulusan perguruan tinggi yang selama ini diyakini sebagai tumpuan mobilitas sosial justru tergelincir ke dalam jebakan intelektual tanpa peran.
Kita sudah terlalu biasa membaca berita PHK seperti membaca prakiraan cuaca: musiman, bisa diprediksi. Ketika investor hengkang karena fraud, ketika buruh terdepak karena efisiensi, dan ketika media mati karena tak sempat berubah, yang mati bukan hanya perusahaan, tetapi juga harapan akan masa depan yang lebih beradab.
Sebab pertanyaan yang sesungguhnya bukan pada mengapa industri itu tumbang, tetapi: ke mana mereka yang tertumbangkan akan berpulang? Dan mengapa tak ada yang bertanya keras atas gelombang sunyi yang datang satu per satu, seperti pintu-pintu yang ditutup tanpa salam?
Kanada, misalnya, ketika menghadapi gelombang disrupsi di sektor media dan manufaktur, tidak tinggal diam. Pemerintahnya membentuk dana transisi sektor: memberi pelatihan ulang, pendampingan psikososial, dan penempatan kerja baru. Sementara di Indonesia, pelatihan kerja kerap jadi proyek. Bukan proses.
Kita adalah bangsa yang gemar membuat narasi kebangkitan, tetapi sering abai pada suara runtuh. Dan dalam kebisuan seperti ini, satu-satunya yang bersuara hanyalah sabit di tangan malaikat kematian industri: mengetuk, mengayun, dan membuka pintu berikutnya.
Dan kini kita hanya bisa menunggu: pintu mana yang akan diketuk selanjutnya?
Bogor, 4 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI