Di Denmark, usia pensiun naik menjadi 70 tahun. Di Jepang, 65. Di Indonesia? Tidak ada angka pasti. Karena bagi Pak Darto, pensiun bukanlah sebuah tanggal dalam kalender, melainkan ketika tubuh tak lagi kuat berdiri. Ketika motor tua tak lagi bisa dihidupkan. Ketika anak-anak sudah mandiri. Atau justru ketika ia sudah terlalu lelah untuk peduli.
Apa yang harus disiapkan?Â
Edukasi keuangan, kata para ahli. Asuransi kesehatan, tabungan pensiun, diversifikasi penghasilan. Semua itu penting, memang. Namun, bagi mereka yang hidup di Karadenaan, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: bagaimana bertahan hari ini, besok, dan lusa?
Pemerintah boleh bicara tentang bonus demografi, tentang Indonesia Emas 2045. Tapi di gang-gang kecil, di pojokan Karadenaan, bonus itu terasa seperti janji di ujung senja. Sementara itu, Pak Darto dan generasi sepertinya terus bekerja, bukan untuk pensiun, tetapi untuk memastikan anak-anaknya makan, sekolah, dan mungkin bisa memutus rantai ini.
Seorang filsuf Yunani, Herakleitos, pernah berkata, "Panta rhei"---semua mengalir. Namun, untuk generasi sandwich, hidup mengalir seperti sungai yang keruh, penuh rintangan batu dan sampah yang menumpuk. Jalan keluar bukanlah menunggu air menjadi jernih, melainkan belajar berenang di dalamnya.
Mungkin, seperti kata Jalaluddin Rumi, "Jangan bersedih jika hidup tak berjalan sesuai rencana. Rencana Tuhan selalu lebih indah daripada yang kita bayangkan". Tapi barangkali, Tuhan pun menginginkan kita untuk lebih dari sekadar pasrah: untuk mulai menabung sejak gaji pertama, untuk membicarakan rencana pensiun meski terasa jauh, untuk memperjuangkan kebijakan publik yang berpihak pada pekerja informal, pada generasi sandwich yang terjepit di antara impian dan kenyataan.
Karena, pensiun bukanlah sekadar berhenti bekerja, melainkan berhenti mengkhawatirkan masa depan.
Dan bagi Pak Darto, juga bagi kita semua, semoga hari itu, hari ketika kita tak lagi dihantui tagihan, sekolah anak, atau biaya rumah sakit orang tua, akan datang. Entah kapan.
Bila senja di Karadenaan mengabur, dan pohon mangga itu berdiri sunyi, barangkali ada satu pertanyaan yang menggantung di udara: Siapa yang akan mengurus kita, jika kita terus sibuk mengurus semua orang, tanpa pernah sempat mengurus diri sendiri?
Dan mungkin, jawaban itu harus kita tulis sendiri, hari ini juga. Sebelum malam turun terlalu pekat.
Bogor 2 Juni 2025