Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Senja di Atas Pundak Generasi Sandwich

2 Juni 2025   21:13 Diperbarui: 2 Juni 2025   21:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Denmark, usia pensiun naik menjadi 70 tahun. Di Jepang, 65. Di Indonesia? Tidak ada angka pasti. Karena bagi Pak Darto, pensiun bukanlah sebuah tanggal dalam kalender, melainkan ketika tubuh tak lagi kuat berdiri. Ketika motor tua tak lagi bisa dihidupkan. Ketika anak-anak sudah mandiri. Atau justru ketika ia sudah terlalu lelah untuk peduli.

Apa yang harus disiapkan? 

Edukasi keuangan, kata para ahli. Asuransi kesehatan, tabungan pensiun, diversifikasi penghasilan. Semua itu penting, memang. Namun, bagi mereka yang hidup di Karadenaan, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: bagaimana bertahan hari ini, besok, dan lusa?

Pemerintah boleh bicara tentang bonus demografi, tentang Indonesia Emas 2045. Tapi di gang-gang kecil, di pojokan Karadenaan, bonus itu terasa seperti janji di ujung senja. Sementara itu, Pak Darto dan generasi sepertinya terus bekerja, bukan untuk pensiun, tetapi untuk memastikan anak-anaknya makan, sekolah, dan mungkin bisa memutus rantai ini.

Seorang filsuf Yunani, Herakleitos, pernah berkata, "Panta rhei"---semua mengalir. Namun, untuk generasi sandwich, hidup mengalir seperti sungai yang keruh, penuh rintangan batu dan sampah yang menumpuk. Jalan keluar bukanlah menunggu air menjadi jernih, melainkan belajar berenang di dalamnya.

Mungkin, seperti kata Jalaluddin Rumi, "Jangan bersedih jika hidup tak berjalan sesuai rencana. Rencana Tuhan selalu lebih indah daripada yang kita bayangkan". Tapi barangkali, Tuhan pun menginginkan kita untuk lebih dari sekadar pasrah: untuk mulai menabung sejak gaji pertama, untuk membicarakan rencana pensiun meski terasa jauh, untuk memperjuangkan kebijakan publik yang berpihak pada pekerja informal, pada generasi sandwich yang terjepit di antara impian dan kenyataan.

Karena, pensiun bukanlah sekadar berhenti bekerja, melainkan berhenti mengkhawatirkan masa depan.

Dan bagi Pak Darto, juga bagi kita semua, semoga hari itu, hari ketika kita tak lagi dihantui tagihan, sekolah anak, atau biaya rumah sakit orang tua, akan datang. Entah kapan.

Bila senja di Karadenaan mengabur, dan pohon mangga itu berdiri sunyi, barangkali ada satu pertanyaan yang menggantung di udara: Siapa yang akan mengurus kita, jika kita terus sibuk mengurus semua orang, tanpa pernah sempat mengurus diri sendiri?

Dan mungkin, jawaban itu harus kita tulis sendiri, hari ini juga. Sebelum malam turun terlalu pekat.

Bogor 2 Juni 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun