Senja di Atas Pundak Generasi Sandwich
Oleh Dikdik Sadikin
Di Indonesia, 90% masyarakat tak siap menghadapi masa pensiun, menurut laporan VOI. Mereka hidup dari hari ke hari, berharap anak-anak mereka kelak bisa membebaskan mereka dari belenggu yang sama.
Di sebuah gang kecil di Karadenaan, Bogor, saya pernah duduk bersama Pak Darto, seorang sopir ojek pangkalan yang rambutnya mulai memutih, sementara anak bungsunya baru saja lulus SD.Â
Di kursi kayu reot, di bawah pohon mangga yang daunnya luruh satu-satu, Pak Darto menceritakan hidupnya yang seperti roda sepeda motor: terus berputar, meski kadang rantainya kendor, kadang bannya bocor.
"Kalau dipikir-pikir, Pak," katanya, "saya ini masih nyicil rumah, ngurus orang tua di kampung, sekolahin anak. Pensiun? Saya nggak ngerti kapan itu bisa kejadian. Hidup saja sudah begini."
Di wajah Pak Darto, ada semacam kelelahan yang samar. Seperti senja yang menggantung di ujung langit, tak jelas apakah akan berubah menjadi malam atau fajar baru.
Generasi sandwich. Istilah yang muncul di seminar-seminar perencanaan keuangan, atau dalam artikel motivasi yang menganjurkan kita untuk "menyiapkan pensiun sejak muda." Tapi di gang-gang kecil seperti Karadenaan, istilah itu bukan teori, melainkan denyut kehidupan sehari-hari: para ayah yang bekerja serabutan, para ibu yang berdagang kue basah, menopang anak-anak yang bermimpi kuliah, sambil sesekali mengirim uang untuk orang tua yang sakit di kampung.
Data menunjukkan bahwa sekitar 67% penduduk usia produktif di Indonesia adalah bagian dari generasi sandwich. Mereka yang harus membagi penghasilannya untuk dua arah: ke atas, untuk orang tua, dan ke bawah, untuk anak-anak. Di Karadenaan, angka itu bukan statistik, melainkan wajah-wajah nyata: Pak Darto dengan motornya, Bu Siti dengan gerobak sayur, dan Pak Slamet, pensiunan PNS yang kini membuka tambal ban kecil untuk membiayai cucu-cucunya.
Rasio ketergantungan Indonesia, 44,67% pada 2022, terdengar seperti angka di atas kertas. Namun, di Karadenaan, itu berarti satu keluarga harus berbagi satu piring nasi untuk tiga mulut. Di Italia, 64% generasi sandwich merasakan beban yang sama, meski di sana ada tunjangan pensiun, subsidi, dan asuransi kesehatan yang mapan.Â
Di Jerman, 41% merasakannya, tapi dengan perlindungan negara yang tebal. Sementara di Indonesia, 90% masyarakat tak siap menghadapi masa pensiun, menurut laporan VOI. Mereka hidup dari hari ke hari, berharap anak-anak mereka kelak bisa membebaskan mereka dari belenggu yang sama.
Lantas, pada usia berapa generasi sandwich bisa pensiun?Â
Di Denmark, usia pensiun naik menjadi 70 tahun. Di Jepang, 65. Di Indonesia? Tidak ada angka pasti. Karena bagi Pak Darto, pensiun bukanlah sebuah tanggal dalam kalender, melainkan ketika tubuh tak lagi kuat berdiri. Ketika motor tua tak lagi bisa dihidupkan. Ketika anak-anak sudah mandiri. Atau justru ketika ia sudah terlalu lelah untuk peduli.
Apa yang harus disiapkan?Â
Edukasi keuangan, kata para ahli. Asuransi kesehatan, tabungan pensiun, diversifikasi penghasilan. Semua itu penting, memang. Namun, bagi mereka yang hidup di Karadenaan, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: bagaimana bertahan hari ini, besok, dan lusa?
Pemerintah boleh bicara tentang bonus demografi, tentang Indonesia Emas 2045. Tapi di gang-gang kecil, di pojokan Karadenaan, bonus itu terasa seperti janji di ujung senja. Sementara itu, Pak Darto dan generasi sepertinya terus bekerja, bukan untuk pensiun, tetapi untuk memastikan anak-anaknya makan, sekolah, dan mungkin bisa memutus rantai ini.
Seorang filsuf Yunani, Herakleitos, pernah berkata, "Panta rhei"---semua mengalir. Namun, untuk generasi sandwich, hidup mengalir seperti sungai yang keruh, penuh rintangan batu dan sampah yang menumpuk. Jalan keluar bukanlah menunggu air menjadi jernih, melainkan belajar berenang di dalamnya.
Mungkin, seperti kata Jalaluddin Rumi, "Jangan bersedih jika hidup tak berjalan sesuai rencana. Rencana Tuhan selalu lebih indah daripada yang kita bayangkan". Tapi barangkali, Tuhan pun menginginkan kita untuk lebih dari sekadar pasrah: untuk mulai menabung sejak gaji pertama, untuk membicarakan rencana pensiun meski terasa jauh, untuk memperjuangkan kebijakan publik yang berpihak pada pekerja informal, pada generasi sandwich yang terjepit di antara impian dan kenyataan.
Karena, pensiun bukanlah sekadar berhenti bekerja, melainkan berhenti mengkhawatirkan masa depan.
Dan bagi Pak Darto, juga bagi kita semua, semoga hari itu, hari ketika kita tak lagi dihantui tagihan, sekolah anak, atau biaya rumah sakit orang tua, akan datang. Entah kapan.
Bila senja di Karadenaan mengabur, dan pohon mangga itu berdiri sunyi, barangkali ada satu pertanyaan yang menggantung di udara: Siapa yang akan mengurus kita, jika kita terus sibuk mengurus semua orang, tanpa pernah sempat mengurus diri sendiri?
Dan mungkin, jawaban itu harus kita tulis sendiri, hari ini juga. Sebelum malam turun terlalu pekat.
Bogor 2 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI