Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Senja di Atas Pundak Generasi Sandwich

2 Juni 2025   21:13 Diperbarui: 2 Juni 2025   21:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja di Atas Pundak Generasi Sandwich

Oleh Dikdik Sadikin

Di Indonesia, 90% masyarakat tak siap menghadapi masa pensiun, menurut laporan VOI. Mereka hidup dari hari ke hari, berharap anak-anak mereka kelak bisa membebaskan mereka dari belenggu yang sama.

Di sebuah gang kecil di Karadenaan, Bogor, saya pernah duduk bersama Pak Darto, seorang sopir ojek pangkalan yang rambutnya mulai memutih, sementara anak bungsunya baru saja lulus SD. 

Di kursi kayu reot, di bawah pohon mangga yang daunnya luruh satu-satu, Pak Darto menceritakan hidupnya yang seperti roda sepeda motor: terus berputar, meski kadang rantainya kendor, kadang bannya bocor.

"Kalau dipikir-pikir, Pak," katanya, "saya ini masih nyicil rumah, ngurus orang tua di kampung, sekolahin anak. Pensiun? Saya nggak ngerti kapan itu bisa kejadian. Hidup saja sudah begini."

Di wajah Pak Darto, ada semacam kelelahan yang samar. Seperti senja yang menggantung di ujung langit, tak jelas apakah akan berubah menjadi malam atau fajar baru.

Generasi sandwich. Istilah yang muncul di seminar-seminar perencanaan keuangan, atau dalam artikel motivasi yang menganjurkan kita untuk "menyiapkan pensiun sejak muda." Tapi di gang-gang kecil seperti Karadenaan, istilah itu bukan teori, melainkan denyut kehidupan sehari-hari: para ayah yang bekerja serabutan, para ibu yang berdagang kue basah, menopang anak-anak yang bermimpi kuliah, sambil sesekali mengirim uang untuk orang tua yang sakit di kampung.

Data menunjukkan bahwa sekitar 67% penduduk usia produktif di Indonesia adalah bagian dari generasi sandwich. Mereka yang harus membagi penghasilannya untuk dua arah: ke atas, untuk orang tua, dan ke bawah, untuk anak-anak. Di Karadenaan, angka itu bukan statistik, melainkan wajah-wajah nyata: Pak Darto dengan motornya, Bu Siti dengan gerobak sayur, dan Pak Slamet, pensiunan PNS yang kini membuka tambal ban kecil untuk membiayai cucu-cucunya.

Rasio ketergantungan Indonesia, 44,67% pada 2022, terdengar seperti angka di atas kertas. Namun, di Karadenaan, itu berarti satu keluarga harus berbagi satu piring nasi untuk tiga mulut. Di Italia, 64% generasi sandwich merasakan beban yang sama, meski di sana ada tunjangan pensiun, subsidi, dan asuransi kesehatan yang mapan. 

Di Jerman, 41% merasakannya, tapi dengan perlindungan negara yang tebal. Sementara di Indonesia, 90% masyarakat tak siap menghadapi masa pensiun, menurut laporan VOI. Mereka hidup dari hari ke hari, berharap anak-anak mereka kelak bisa membebaskan mereka dari belenggu yang sama.

Lantas, pada usia berapa generasi sandwich bisa pensiun? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun