Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Victor A. Pogadaev: Antara Bahasa, Durian dan Chairil

14 Mei 2025   16:32 Diperbarui: 15 Mei 2025   08:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di MGIMO dan Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri Rusia, Victor mengajar bahasa Indonesia dan Malaysia. Tapi ia bukan sekadar dosen. Ia adalah persilangan dua dunia, dua cara pandang yang ia sematkan dalam bait puisi, padanan kata, dan---percaya atau tidak---dalam aroma durian.

"Kalau saya ingin mencintai bahasanya," ujarnya kepada saya suatu malam, "saya juga harus mencintai makanannya." Pada awalnya ia menolak aroma durian. Tapi, Sabtu malam yang basah di Padang, kami menyantap durian bersamanya. Ia menunjukkan cara menghilangkan baunya dengan air dari kulitnya dan tertawa, "Saya pelajari ini seperti mempelajari tata bahasa."

Namun cinta Victor yang paling dalam kepada Indonesia barangkali justru tampak saat ia melantunkan puisi "Cintaku Jauh di Pulau"  karya Chairil Anwar. Puisi itu bukan sekadar ia terjemahkan. Ia hafal luar kepala.

Minggu siang, 11 Mei 2025, di aula Rumah Sastra Indonesia Taufik Ismail di Padang Panjang, ia berdiri di depan audiens yang hening dan mulai melafalkan bait-bait Chairil:

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang,
tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya...


Suaranya dalam, goyah, lalu kuat kembali. Chairil seakan hidup dalam tubuh lelaki Rusia itu. Tak ada kesan deklamasi. Yang ada hanya penghayatan. Satu puisi yang berpindah bahasa, tapi tidak kehilangan luka.

Victor A. Pogadaev bukanlah duta besar resmi. Tapi ia adalah juru bahasa, penyulam makna, dan penenun silaturahmi antarbangsa. Dalam salju Moskow ia simpan renai Padang. Di antara notasi fonetik, ia sisipkan suara parau Chairil dan semerbak durian yang kini bukan lagi asing, tapi rumah.

Bahasa, durian, dan Chairil: tiga hal yang tak pernah lahir bersama, tapi menemukan simpulnya dalam tubuh seorang Victor.

Ia tidak dilahirkan oleh Indonesia atau Malaysia, tapi ia memilih tinggal di dalam ingatannya.

Dan ketika Chairil berkata, "Aku mau hidup seribu tahun lagi", dalam aksen yang semula asing namun kini serasa gema batin sendiri, kita tahu: kata-kata telah menembus salju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun