Di MGIMO dan Akademi Diplomatik Kementerian Luar Negeri Rusia, Victor mengajar bahasa Indonesia dan Malaysia. Tapi ia bukan sekadar dosen. Ia adalah persilangan dua dunia, dua cara pandang yang ia sematkan dalam bait puisi, padanan kata, dan---percaya atau tidak---dalam aroma durian.
"Kalau saya ingin mencintai bahasanya," ujarnya kepada saya suatu malam, "saya juga harus mencintai makanannya." Pada awalnya ia menolak aroma durian. Tapi, Sabtu malam yang basah di Padang, kami menyantap durian bersamanya. Ia menunjukkan cara menghilangkan baunya dengan air dari kulitnya dan tertawa, "Saya pelajari ini seperti mempelajari tata bahasa."
Namun cinta Victor yang paling dalam kepada Indonesia barangkali justru tampak saat ia melantunkan puisi "Cintaku Jauh di Pulau"Â karya Chairil Anwar. Puisi itu bukan sekadar ia terjemahkan. Ia hafal luar kepala.
Minggu siang, 11 Mei 2025, di aula Rumah Sastra Indonesia Taufik Ismail di Padang Panjang, ia berdiri di depan audiens yang hening dan mulai melafalkan bait-bait Chairil:
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang,
tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya...
Suaranya dalam, goyah, lalu kuat kembali. Chairil seakan hidup dalam tubuh lelaki Rusia itu. Tak ada kesan deklamasi. Yang ada hanya penghayatan. Satu puisi yang berpindah bahasa, tapi tidak kehilangan luka.
Victor A. Pogadaev bukanlah duta besar resmi. Tapi ia adalah juru bahasa, penyulam makna, dan penenun silaturahmi antarbangsa. Dalam salju Moskow ia simpan renai Padang. Di antara notasi fonetik, ia sisipkan suara parau Chairil dan semerbak durian yang kini bukan lagi asing, tapi rumah.
Bahasa, durian, dan Chairil: tiga hal yang tak pernah lahir bersama, tapi menemukan simpulnya dalam tubuh seorang Victor.
Ia tidak dilahirkan oleh Indonesia atau Malaysia, tapi ia memilih tinggal di dalam ingatannya.
Dan ketika Chairil berkata, "Aku mau hidup seribu tahun lagi", dalam aksen yang semula asing namun kini serasa gema batin sendiri, kita tahu: kata-kata telah menembus salju.