"Dari dulu saya suka kucing, Pak," katanya. "Tapi kucing kampung. Yang persia saya nggak suka."
Konon, ia pernah mensterilkan kucingnya. Tiga ratus ribu, katanya. Sebagai tukang ojek, ia rela sisihkan uangnya untuk itu.Â
"Tapi ngga rugi kok Pak. Banyak keajaiban," lanjutnya.
"Kalau saya lagi nggak punya duit, saya bilang ke kucing: bilang ke Allah, ya, minta rezeki buat kita."
Dan anehnya, katanya, selalu ada saja rezeki yang datang. Dari arah yang tak diduga.
Sesampainya mengantarkan aku di rumah, aku bayar dua puluh ribu, sesuai janji. Lalu aku tambahkan.
"Ini... buat beli makanan kucing."
Bapak itu terdiam, menatap saya.
"Terima kasih Pak. Tapi saya sudah menyusahkan Bapak. Sudah membolehkan saya ke rumah dulu, nitipkan kucing. Perjalanan jadi lebih lama. Tapi malah Bapak kasih tambahan buat saya."
Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak. Â Itu buat kucing kok," kataku.
Dalam hati aku berkata bahwa aku oke-oke saja soal itu, bahkan merasa beruntung. Ada petualangan baru. Barangkali karena aku memang menyukai kucing, pertemuan sore itu terasa lebih menyenangkan. Meski pun harus memutar dulu. Walaupun perjalanan jadi lebih lama. Mungkin, kalau penumpangnya orang lain, apalagi yang bukan pencinta kucing, ceritanya akan berbeda.Â
Tapi aku jadi tambah paham: dengan mencintai mahluk-Nya, demi yang kita sayangi, apa pun yang kita lakukan akan menjadi lebih ringan.
Yang jelas, bukan salah siapa-siapa. Bukan salah Tukang Ojek yang kurang profesional: membawa penumpang kok bawa juga kucing di motor. Â Tapi karena Allah memang sudah mengatur: ini sebuah pertemuan antara yang mengerti dan yang bersedia memahami. Tiba pada saat yang tepat, pada orang yang tepat, untuk melindungi mahluk kecil-Nya.
Bogor, 30 April 2025