Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kucing dalam Kardus

1 Mei 2025   09:01 Diperbarui: 1 Mei 2025   09:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: DALL-E)

"Dari pasar. Mau saya bawa pulang,"  katanya pelan, seolah merasa bersalah.

Kucing itu gelisah. Kepalanya sudah keluar, tubuhnya ikut menyusul. Hampir meloncat. Si bapak panik.

"Kalau Bapak mau, sini saya pegang saja kucingnya," kataku. Bapak Tukang Ojek ragu. Tapi karena tidak ada jalan lain, akhirnya si Bapak menyerahkan anak kucing itu ke pangkuanku.


Aku peluk erat-erat sepanjang jalan. Mungkin baru kali itu ada penumpang ojek yang diminta pegang kucing tukang ojek sepanjang perjalanan. 

Tapi pikiranku tidak tenang. Bagaimana nanti setelah aku turun? Si Bapak harus mengendarai motor sendiri sambil menjaga kucing? Mustahil.


"Rumah Bapak dekat sini?" tanyaku.
"Dekat," jawabnya.

"Kalau begitu bagaimana kalau kita ke rumah Bapak dulu. Nanti kucingnya diserahkan dulu ke istri Bapak. Baru setelah itu antar saya pulang."


Ia sempat menolak halus. Saya mengerti, dia rikuh. Ada rasa bersalah. Tapi kembali, karena  memang tidak ada jalan lain, ia akhirnya menerima dengan ucapan terima kasihnya.

Kami belok ke gang kecil. Melewati rumah-rumah padat dan warung sembako. Sampai lah di sebuah rumah kecil, si bapak memanggil istrinya. Aku menyerahkan kucing itu. Ibu itu tersenyum kecil, menerimanya.

Setelah itu, kami kembali ke jalan kampung. Melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan, kami ngobrol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun