"Dari pasar. Mau saya bawa pulang," Â katanya pelan, seolah merasa bersalah.
Kucing itu gelisah. Kepalanya sudah keluar, tubuhnya ikut menyusul. Hampir meloncat. Si bapak panik.
"Kalau Bapak mau, sini saya pegang saja kucingnya," kataku. Bapak Tukang Ojek ragu. Tapi karena tidak ada jalan lain, akhirnya si Bapak menyerahkan anak kucing itu ke pangkuanku.
Aku peluk erat-erat sepanjang jalan. Mungkin baru kali itu ada penumpang ojek yang diminta pegang kucing tukang ojek sepanjang perjalanan.Â
Tapi pikiranku tidak tenang. Bagaimana nanti setelah aku turun? Si Bapak harus mengendarai motor sendiri sambil menjaga kucing? Mustahil.
"Rumah Bapak dekat sini?" tanyaku.
"Dekat," jawabnya.
"Kalau begitu bagaimana kalau kita ke rumah Bapak dulu. Nanti kucingnya diserahkan dulu ke istri Bapak. Baru setelah itu antar saya pulang."
Ia sempat menolak halus. Saya mengerti, dia rikuh. Ada rasa bersalah. Tapi kembali, karena  memang tidak ada jalan lain, ia akhirnya menerima dengan ucapan terima kasihnya.
Kami belok ke gang kecil. Melewati rumah-rumah padat dan warung sembako. Sampai lah di sebuah rumah kecil, si bapak memanggil istrinya. Aku menyerahkan kucing itu. Ibu itu tersenyum kecil, menerimanya.
Setelah itu, kami kembali ke jalan kampung. Melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan, kami ngobrol.