Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dari Teras Jalan Emung Cinta Bermula

25 April 2025   19:08 Diperbarui: 28 April 2025   13:26 80954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Kompilasi Dokumen Pribadi/ Photoshop/Dikdik)

Dari Teras di Jalan Emung Cinta Bermula

Oleh Dikdik Sadikin

KADANG ada yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, kecuali oleh udara pagi dan tatapan pertama. Februari 1969, di sebuah rumah di Jalan Emung Bandung yang catnya mulai pudar oleh hujan dan usia, Rahmat Hadis, dalam usia 27, menatap dunia lewat jendela dengan mata seorang remaja: bersih, berani, dan belum terluka.

Rumah itu tak hanya tempat tinggal Keluarga Djuminta, tapi juga dermaga bagi anak-anak kos dari Medan dan Padang yang singgah, menimba ilmu di kota kembang. Mereka yang setahun sekali kembali ke kampung halaman, membawa pulang rendang buatan Ibu Djuminta, ibu dari Rahmat, sebagai bekal perjalanan di kapal laut.

Pagi itu, matahari masih malu-malu beranjak dari selimut kabut. Jalan Emung tampak seperti lukisan yang belum selesai. Daun-daun bambu berdesir pelan, seperti hendak membisikkan sesuatu.

Rahmat berdiri di teras, menyambut keindahan pagi. Matanya menatap dunia seperti halaman buku yang baru dibuka, belum terlipat oleh luka, belum ternoda oleh kecewa.

Dan saat itulah, gadis itu datang. Lewat di hadapannya.

Ia berjalan pelan, seakan waktu enggan menyalip langkahnya. Namanya, kelak Rahmat tahu, adalah Enen Z.

Enen, mahasiswi IAIN Bandung itu usia 19,  menggenggam tas jinjingnya yang bergoyang mengikuti irama langkah.

Dan ketika ia lewat di depan rumah itu, tatapan matanya bertaut tak berkedip dengan tatapan mata Rahmat yang membeku oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Seolah semesta menunduk hormat. Angin diam. Vespa yang biasanya berisik, entah ke mana suaranya itu. Bahkan waktu sendiri pun seperti lupa berdetik.

Sejenak, Rahmat tak merasa menjadi dirinya sendiri. Ia adalah udara yang mengantarkan wangi. Ia adalah pagi yang tiba-tiba ingin menetap. Ia adalah nama yang belum sempat disebutkan, namun sudah tertulis di hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun