Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketupat yang Tak Selalu Memadamkan Bara

8 April 2025   22:09 Diperbarui: 9 April 2025   15:26 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: DALL-E)

Ketupat yang Tak Selalu Memadamkan Bara

Oleh Dikdik Sadikin

Lebaran, dalam konteks sosiologisnya, telah menjadi semacam panggung teater kecil. Di sana konflik ditidurkan sebentar, hanya agar bisa dibangunkan lagi di grup WhatsApp keluarga sepekan kemudian. 

SETIAP Lebaran, ketupat disusun dengan telaten di atas piring saji. Mereka kadang seperti penonton yang harap-harap cemas: adakah "perang keluarga" terjadi lagi di sekitar meja makan, justru di hari yang fitri? Ketupat sebagai simbol maaf, rekonsiliasi, dan rumah, tak jarang menjadi saksi bagi pertunjukan tahunan: keluarga yang berpura-pura tidak sedang saling menyimpan bara.

Di ruang tamu yang didekorasi dengan taplak meja bordir dan kenangan yang tak pernah diungkapkan, sepasang saudara duduk berseberangan. Yang satu berkata, "Maaf lahir batin, ya," sambil menyodorkan tangan dan senyum setengah hati. Yang lain menjawab, "Iya, sama-sama," sembari berpikir apakah kali ini ia harus mengungkit warisan yang tidak dibagi rata. Keduanya lalu memotong ketupat, bukan dendam.

Lebaran, dalam konteks sosiologisnya, telah menjadi semacam panggung teater kecil di mana konflik ditidurkan sebentar, hanya agar bisa dibangunkan lagi di grup WhatsApp keluarga sepekan kemudian. Ini bukan rekonsiliasi; ini reses. Seperti parlemen yang menunda keributan demi sesi foto bersama.

Goethe pernah berkata, "Tidak ada yang lebih sulit daripada melupakan." Mungkin karena itu, keluarga kita lebih suka menghidangkannya. Di dalam ketupat yang dibelah rapi, kita menaruh luka yang tak sempat dibicarakan. Di sela-sela lontong dan sambal goreng ati, terselip kemarahan lama yang dibumbui kuah sayur lodeh agar bisa lebih cepat ditelan. Kadang, konflik keluarga justru seperti rendang: makin lama dipanaskan, makin terasa pedasnya.

Ada keanehan kolektif yang kita setujui tanpa musyawarah: bahwa maaf cukup diucapkan, bukan diselami. Maka saat satu anggota keluarga berkata, "Udahlah, jangan dibahas, ini kan Lebaran," yang lain terceletuk, "Tapi kamu yang duluan bilang...," lalu suasana pun pecah. 

Ketupat adalah metafora yang terlalu polos untuk beban psikologis keluarga. Ia dibentuk dari janur yang dirangkai bersilang, seolah menunjukkan betapa ruwet hubungan darah yang dikira otomatis harmonis. Tapi setelah direbus, ia harus dipotong untuk bisa dinikmati. Mungkin seperti itu pula kejujuran: harus dibuka, agar tak hanya jadi hiasan Lebaran.

Namun, betapapun sering drama ini berulang, kita tidak harus terus membiasakannya. Basa-basi bisa dimaafkan, tapi tidak seharusnya dijadikan budaya. Sebab memaafkan tidak sama dengan melupakan. Ia adalah keberanian untuk merangkul luka dan menguburnya dengan kasih sayang.

Dalam Al-Qur'an, Allah bertanya secara tajam:

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji?"
(QS. Al-'Ankabut: 2)

Silaturahmi di hari Lebaran pun adalah ujian. Bukan hanya soal siapa yang lebih dulu mengirim hampers, tapi siapa yang mampu benar-benar memaafkan, menahan diri, dan membersihkan hati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun