Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketupat yang Tak Selalu Memadamkan Bara

8 April 2025   22:09 Diperbarui: 9 April 2025   15:26 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: DALL-E)

Ibadah tidak hanya vertikal, dalam keheningan di atas sajadah dan gema takbir. Tapi juga horisontal, dalam hubungan kita dengan sesama.

Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari. Siapa yang paling dahulu memberi salam, dialah yang lebih baik di sisi Allah."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka jika ketupat gagal menjembatani jarak itu, mungkin yang perlu dipotong bukan hanya beras dalam anyaman janur, tapi ego kita yang telah lama mengeras.

Lebaran bukan panggung drama keluarga. Ia adalah kesempatan kedua, mungkin ketiga, keempat, dan seterusnya, yang Tuhan berikan agar kita belajar menjadi dewasa dalam beriman. Bukan hanya taat di masjid, tapi juga sanggup menekan amarah di ruang tamu. Iman tak hanya ditunjukkan kepada Tuhan, tetapi juga harus ditunjukkan kepada manusia lain, apalagi saudara.

Dan jika tahun ini Anda masih merasa sakit hati meski sudah salaman dan makan opor bersama, barangkali inilah saatnya belajar benar-benar memaafkan. Bukan hanya mengucapkan.

Karena Tuhan tidak pernah menilai seberapa lembut ucapan maaf kita di hari Lebaran, tapi seberapa bersih hati kita sesudahnya.

Dan seperti ketupat yang anyamannya dirajut dengan sabar, lalu direbus dengan waktu, barangkali begitulah rekonsiliasi seharusnya dibuat: pelan-pelan, sampai matang. Bukan dipaksakan menjadi sekadar basa-basi, lalu dingin dan ditinggalkan begitu saja.

Bogor, 8 April 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun