Tak ada panitia, tak ada daftar tugas. Tapi selalu ada yang membawa. Mungkin itulah cara Tuhan menyusupkan rezeki lewat keikhlasan yang berputar.
Beberapa jamaah datang dengan ransel kecil. Di dalamnya ada sarung cadangan, selimut tipis, juga charger ponsel agar bacaannya di hadphone tak putus karena baterai habis.
Mushaf digital menyala redup di layar HP mereka. Ada yang membaca Al-Baqarah dari gawai, ada yang mengaji dari Qur'an saku yang sampulnya sudah mengelupas. Tak semua mengejar khatam. Ada yang baru juz 10, ada yang baru bisa tiga halaman. Tapi tak ada yang bertanya sampai juz mana kita membaca. Karena ini bukan kompetisi kecepatan membaca atau siapa yang paling merdu. Tapi berlomba dalam ketulusan mengais ridha Illahi, dengan juri langsung dari Dia yang Maha Penilai.
Dari pukul dua belas hingga sekitar pukul tiga dinihari, mushola tak pernah benar-benar sunyi. Bacaan Qur'an bersahut rendah. Shalat-shalat malam ditegakkan dua rakaat demi dua rakaat. Tak ada imam tetap. Kadang Pak Dony maju, Kadang Pak Johan, kadang Pak Jayadi, kadang siapa saja yang hafal surat-surat pendek. Tanpa mikrofon. Tanpa pembesar suara. Hanya desir angin dinihari dan gelegak kecil air wudhu yang jatuh ke keramik.
Ada jamaah yang datang dengan pakaian kerja, celananya masih berdebu pabrik. Ia baru pulang shift malam. Tak sempat ganti baju. Duduk, membuka aplikasi Qur'an dari handphone di sakunya, lalu mulai membaca dengan suara pelan.Â
Di seberangnya, seorang kakek duduk di kursi kecil. Tak kuat berdiri. Tapi bibirnya terus bergerak. Doanya tak terdengar, tapi sepertinya tak perlu. Karena Tuhan tahu bahasa airmata. Tahu pula bahasa tubuh renta yang tak bisa lagi bersujud penuh.
Semua yang dilakukan di Mushola Asy-Syura bukanlah ibadah yang viral. Tak ada kamera. Tak ada konten TikTok. Tapi justru karena itulah malam-malam mereka menjadi terasa lebih tenang dan bersih dari hiruk pikuk kepentingan dunia. Karena Lailatul Qadar bukan tentang sorotan kamera dan riuh rendah "like" dan "comment". Ia adalah tepian sunyi yang diam-diam menyusup di hati yang bening. Bukan tentang jumlah rakaat dan banyaknya bacaan surah, tapi tentang siapa yang tetap duduk ketika semua terlelap.
Kita memang tak tahu kapan malam itu datang. Tapi seperti kata Rumi, "Yang kau cari juga sedang mencarimu." Dan mungkin, justru karena ketidaktahuan itulah, mereka belajar untuk bersiap setiap malam. Dalam setiap ayat yang terbaca, dalam tiap kantuk yang dilawan, dalam tiap jeruk yang dibagi dan air yang diteguk, mereka membangun jembatan sunyi menuju langit.
Di luar, langit Bogor bersih. Bulan menggantung diam seperti sedang memperhatikan. Dari jendela kecil mushola, terlihat bintang-bintang yang seolah ikut bertadarus diam-diam.Â
Sementara di pojok, seorang bapak rebah di bawah kipas angin dinding, napasnya teratur, tapi tangannya tetap memegang tasbih. Seolah berjaga-jaga kalau tiba-tiba malaikat turun menebar janji yang dinanti.