Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjaring Malam Seribu Bulan

26 Maret 2025   13:54 Diperbarui: 26 Maret 2025   21:08 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen pribadi. 

Menjaring Malam Seribu Bulan

Oleh Dikdik Sadikin

Seorang kakek duduk di kursi kecil, tak kuat berdiri. Tapi bibirnya terus bergerak. Doanya tak terdengar, tapi sepertinya tak perlu. Karena Tuhan tahu bahasa airmata. Tahu pula bahasa tubuh renta yang tak mampu lagi bersujud penuh.


KITA tak pernah tahu kapan malam itu datang.


Ia disebut Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Tapi ia datang tanpa tanda di langit, tanpa bunyi lonceng surgawi. Tak seperti tahun baru yang disambut terompet dan kembang api, malam ini datang dalam sunyi. 

Malam yang dipenuhi dengan i'tikaf, atau berdiam diri di masjid dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang dianjurkan di bulan Ramadan, khususnya pada 10 hari terakhir. Di situ, manusia hanya bisa berjaga. Bersiap. Berharap agar ketika rahmat dari-Nya turun dari langit, mereka sedang berada dalam sujud, dalam dzikir, dalam bacaan Qur'an, dalam keadaan merasa paling kecil di hadapan Yang Maha Besar.

Di Mushola Asy-Syura, sebuah ruang kecil yang memeluk sunyi di Kelurahan Sukahati, Cibinong, Bogor, malam itu dicari, bukan dinanti. Bukan dengan amalan yang dipamerkan. Tapi dengan wirid dan bacaan yang digumamkan dengan kesabaran dan ketulusan. Dengan mushaf terbuka. Dengan kantuk yang dilawan, dan hati yang menyerah pasrah pada kehendak illahi.

Mereka yang mencari malam itu hanyalah jamaah biasa, bukan nama-nama besar yang kerap mengisi layar dakwah. Tapi para jamaah, seperti Pak Johan, lelaki bersahaja itu tak pernah lupa membawa kunci mushola dari rumahnya. Di sakunya, kunci mushola itu bergemerincing pelan seolah membawa rahasia langit yang diserahkan Tuhan kepada manusia biasa yang tidak pernah minta dikenal. Setiap malam, sebelum jarum jam menyentuh angka dua belas, ia datang lebih dulu. Membuka pintu dengan pelan, menyalakan lampu seadanya. Lalu duduk, menghadap mihrab yang sunyi. Mungkin ia sedang bicara dengan Tuhan. Tapi bukan dengan suara, melainkan dengan kehadiran.

Setelahnya, satu per satu datang. Tak ada aba-aba. Tak ada pengumuman di grup WhatsApp. Hanya getar iman yang memanggil diam-diam. Ada yang datang selepas tarawih di rumah, sekitar pukul dua belas. Ada yang baru tiba pukul satu dini hari, setelah anak-anak tidur dan rumah sepi. Ada pula yang muncul tergesa di antara detik jam dua dan setengah tiga. Seperti penumpang yang ingin mengejar kereta malam terakhir menuju rahmat Ilahi.

Mereka datang membawa macam-macam. Bukan hanya niat. Tapi juga bantal kecil, sarung tambahan, jaket tipis, dan sesekali lampu baca portabel yang dijepitkan di mushaf. Di shaf depan, seorang bapak bersila, lampu mungilnya menyinari halaman Qur'an yang mulai pudar warnanya karena sering dibuka. Di sampingnya, seorang jamaah tampak tertunduk. Bukan dalam sujud, tapi dalam kantuk. Ia tidur sejenak di atas sajadah, menelungkup seperti bocah yang sembunyi dari dunia. Lalu bangun perlahan, berjalan setengah mengantuk ke tempat wudhu, mencuci muka. Air dingin dinihari bukan sekadar menyegarkan, tapi seperti panggilan halus: "Kau belum selesai."

Pak Dony datang membawa jeruk mandarin dalam kantong plastik bening juga ada beberapa gelas plastik air mineral. "Penyegar, buat yang ngaji," katanya sambil tersenyum kecil. Kadang ia juga membawa biskuit wafer atau roti sobek isi cokelat. 

Lain malam, giliran jamaah datang membawa termos besar berisi teh manis hangat. Saling bergantian. Kadang ada yang membawa pastel, kadang risoles, atau mie rebus yang sudah dimasukkan dalam wadah besar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun