Langkah di Persimpangan Shibuya
Oleh Dikdik Sadikin
AKU tiba di Tokyo seminggu yang lalu. Tujuh setengah jam penerbangan dari Jakarta, transit di Narita, lalu perjalanan satu jam dengan kereta ke pusat kota.Â
Hotelku di Shinjuku dengan kamar kecil, ranjang sempit, jendela menghadap tembok gedung. Aku tahu Tokyo mahal, tapi tetap saja aku terkejut melihat harga sarapan di kafe hotel: kopi dan croissant seharga 1.200 yen.
Sore itu, aku duduk di depan sebuah cafe di ujung persimpangan Shibuya. Persimpangan itu, kau tahu, yang sering muncul di film atau video klip. Tempat dimana ratusan orang menyeberang dari segala arah dengan harmoni yang aneh.Â
Aku menyesap kopi dingin, memperhatikan kerumunan manusia yang berjalan seolah mereka sedang mengikuti koreografi rahasia.
"Tempat duduk ini kosong?"
Aku menoleh. Seorang perempuan berdiri di samping meja, membawa cangkir kertas berlogo hijau. Rambut belakangnya digulung, lalu ada dua juntaian indah dari dua sisi wajahnya. Dia mengenakan blazer hitam dan kaos krem. Mata cokelatnya menatapku dengan ragu.
"Kalau aku bilang sudah ada yang duduk, kau bakal pergi?" tanyaku.
Dia menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. "Kalau kau bilang begitu, aku akan duduk di meja sebelah dan menyumpahimu dalam bahasa Jepang."
Aku tertawa kecil. "Kalau begitu, silakan duduk."