Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langkah di Persimpangan Shibuya

16 Maret 2025   15:17 Diperbarui: 18 Maret 2025   22:07 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emi dan Aku. (Ilustrasi: Image Creator Microsoft Bing)

"Dan kau sekarang tetap berada di sini?" tanyaku.

Emi tertawa kecil. "Aku kira begitu. Tapi Tokyo... Tokyo punya caranya sendiri untuk membuatnya merasa terikat."

Kami duduk dalam diam. Hanya suara hujan samar di luar jendela. Emi menyesap minumannya, lalu menoleh ke arahku.

"Kau tinggal berapa lama di Tokyo?" tanyanya.

"Sampai akhir minggu."

"Setelah itu?"

"Kembali ke Jakarta."

"Kamu menyukai Jakarta?"

Aku mengangkat bahu. "Aku menyukai orang-orang di sana. Tapi kota itu sendiri, terlalu ramai. Aku memilih Jakarta untuk bekerja. Tapi untuk tinggal, aku pilih Bogor".  Terus terang, aku ragu apakah Emi mengerti Bogor atau tidak. Tetapi sepertinya dia menjaga untuk tak bertanya.

"Tokyo juga ramai," balasnya.

"Ya. Tapi Tokyo bergerak seperti mesin. Teratur, efisien, dan tanpa cela. Tapi dingin. Di Jakarta, orang-orang masih punya kehangatan. Masih ada senyum di tengah kemacetan, masih ada sapaan di antara keramaian." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun