"Dan kau sekarang tetap berada di sini?" tanyaku.
Emi tertawa kecil. "Aku kira begitu. Tapi Tokyo... Tokyo punya caranya sendiri untuk membuatnya merasa terikat."
Kami duduk dalam diam. Hanya suara hujan samar di luar jendela. Emi menyesap minumannya, lalu menoleh ke arahku.
"Kau tinggal berapa lama di Tokyo?" tanyanya.
"Sampai akhir minggu."
"Setelah itu?"
"Kembali ke Jakarta."
"Kamu menyukai Jakarta?"
Aku mengangkat bahu. "Aku menyukai orang-orang di sana. Tapi kota itu sendiri, terlalu ramai. Aku memilih Jakarta untuk bekerja. Tapi untuk tinggal, aku pilih Bogor". Â Terus terang, aku ragu apakah Emi mengerti Bogor atau tidak. Tetapi sepertinya dia menjaga untuk tak bertanya.
"Tokyo juga ramai," balasnya.
"Ya. Tapi Tokyo bergerak seperti mesin. Teratur, efisien, dan tanpa cela. Tapi dingin. Di Jakarta, orang-orang masih punya kehangatan. Masih ada senyum di tengah kemacetan, masih ada sapaan di antara keramaian."Â