Mohon tunggu...
Andika Eka
Andika Eka Mohon Tunggu... -

masih Mahasiswa Kehutanan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kearifan Lokal TWA Danau Buyan – Danau Tamblingan Bali

6 Januari 2015   19:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:42 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Didedikasikan khususnya untuk masyarakat sekitar Buyan Tamblingan dan masyarakat Bali pada umumnya
Berdasarkan catatan sejarah, lokasi di mana Pura Ulun Danu Beratan berdiri, kemungkinan telah digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak jaman megalitik. Ini terbukti dengan ditemukannya sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu yang diletakan di atas bebaturan. Dari penelitian arkeologi, diperkirakan benda-benda tersebut sudah ada dari jaman megalitikum, sekitar 500 SM. Sedangkan berdasarkan beberapa lontar, disebutkan pura Danau Beratan telah didirikan sebelum tahun 1634 M oleh raja pertama Mengwi (I Gusti Agung Putu). Dengan demikian kawasan ini bukan hanya sebagai kawasan tempat wisata alam namun sekaligus juga sebagai situs sejarah yang layak kita jaga kelestariannya.

Ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.:144/Kpts-II/1996 tgl 4 April 1996, dengan luas 1.336,50 Ha (tidak termasuk Danau Buyan). Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Bali No.: 140/Kwl-5/1997 tanggal 22 Januari 1997, luas TWA Danau Buyan – Danau Tamblingan direvisi menjadi 1.703 Ha.

Sudah tidak asing lagi bahwa Bali atau yang biasa disebut dengan pulau dewata sangat erat kaitannya dengan budaya, terlihat dengan adanya pura-pura kecil yang terdapat di depan-depan rumah warga, pertokoan, ladang, sawah, pertokoan, hingga di hutan. Di TWA Danau Buyan-Danau Tamblingan ini terdapat lebih dari ssepuluh pura, jadi sudah bias dimpulkan bahwa di hutan konservasi ini terdapat masyarakat adat yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan ini.

Masyarakat adat yang dimaksud dalam undang-undang adalah masyarakat adat yang sudah dari nenek moyang mereka sudah bertempat tinggal di dalam hutan, namun di TWA ini masyarakat adat justru tinggal di luar hutan, jadi masyarakat ini tidak bisa sembarangan mengambil hasil hutan kayu maupun non kayu karena masyarakat adat ini tidak tinggal di dalam hutan.

Namun diluar itu kearifan lokal di Bali sangat dihormati, ini dikarenakan di kawasan TWA ini selalu menjadi tempat upacara adat. Sehingga apapun kegiatan yang memerlukan hasil hutan diperbolehkan oleh pemerintah dengan beberapa syarat, persyaratan tersebut muncul karena TWA ini merupakan kawasan konservasi dimana kawasan ini merupakan sistem penyangga hutan yang tidak boleh dikurangi kecuali di blok pemanfaatan.

Permasalahannya adalah, di Bali terkenal dengan kearifan lokalnya yang dikenal dengan penghormatan kepada guru, pemimpin, atau orang yang kastanya lebih tinggi dari nelayan, petani, dan sejenisnya. Pada saat upacara berlangsung diwajibkan kepada semua orang untuk memberikan sesembahan, untuk orang yang tidak mampu untuk memberi sesembahan, mereka biasa menggantinya dengan jasa berupa mengantar guru, gubernur, walikota dan lainnya ke pura yang terdapat di seberang danau. Perahu tersebut harus terbuat dari kayu, tidak diperbolehkan untuk menggunakan perahu yang terbuat dari plastic atau besi dan bermesin karena di percaya akan mencemari danau yang merupakan warisan dunia UNESCO tersebut.

Kayu yang dibutuhkan untuk membuat kayu harus berasal dari dalam hutan TWA, dalam peraturan sudah jelas tidak diperbolehkan menebang pohon di kawasan konservasi namun apabila dilarang, perahu tersebut dipergunakan untuk keperluan umat

Selain perahu, dalam upacara adat tersebut juga diperlukan rusa, dan rusa tersebut harus diambil dari dalam kawasan hutan TWA tersebut. Sekali lagi sudah jelas sudah dilarang di dalam peraturan perundang-undangan namun apabila dilarang, rusa tersebut untuk kepentingan umat.

Melihat permasalahan tersebut, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali membuat kebijakan-kebijakan bahwa diperbolehkan untuk mengambil kayu di dalam hutan dengan meminta surat izin ke BKSDA Bali dan dalam pelaksanaannya di awasi oleh petugas polhut dan Pecalang Wana kemudian pohon yang sudah ditebang harus diganti dengan menanam pohon baru.

Sedangkan untuk diperlukannya hewan berupa rusa untuk upacara adat BKSDA Bali belum memiliki solusi. Dalam hal ini pihak BKSDA harus mengajak masyarakat untuk membuat penangkaran rusa dengan tetap diawasi oleh pihak BKSDA karena rusa di Bali berstatus dilindungi. Solusi ini dapat mengurangi kegiatan warga untuk berburu rusa guna keperluan upacara sekaligus juga untuk menambah jumlah populasi rusa di bali.

Baca juga di www.dikaeka.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun