Primata di Persimpangan Jalan: Mengurai Perdagangan Monyet Ekor Panjang dan Beruk di Indonesia
Oleh : Diega Yanuar Putra
Pendahuluan
Bayangkan sebuah hutan tropis di Sumatra atau Kalimantan, tempat suara burung bersahutan dengan gerombolan primata yang bergelantungan di pepohonan. Di antara mereka, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) menjadi aktor penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sayangnya, dua spesies ini kini semakin jarang ditemui. Bukan hanya karena hutan mereka menyusut, tetapi juga karena diburu untuk memenuhi permintaan pasar perdagangan satwa, baik legal maupun ilegal.
Fenomena ini bukan sekadar soal satwa liar yang hilang dari habitatnya, melainkan persoalan rumit yang melibatkan riset biomedis, budaya lokal, ekonomi masyarakat, hingga isu kesehatan global. Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan primata yang menjadi bagian dari identitas alam Indonesia ini terus terjebak dalam pusaran perdagangan?
Perdagangan Legal: Antara Kebutuhan dan Kontroversi
Tidak semua perdagangan monyet ekor panjang dan beruk berlangsung sembunyi-sembunyi. Di atas kertas, perdagangan legal dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penelitian biomedis internasional. Indonesia tercatat sebagai salah satu pemasok utama monyet ekor panjang untuk laboratorium luar negeri. Hewan ini digunakan dalam uji coba vaksin, penelitian obat-obatan, hingga riset toksikologi.
Secara hukum, praktik ini diatur melalui izin resmi dari pemerintah dan diawasi oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Bahkan pada 2023, monyet ekor panjang masuk dalam Apendiks II CITES, artinya perdagangan diperbolehkan tetapi harus sangat ketat pengawasannya.
Namun, legalitas ini memunculkan pertanyaan besar. Apakah perdagangan yang "sah" benar-benar tidak membahayakan populasi liar? Beberapa laporan menyebutkan bahwa praktik penangkaran masih sering bermasalah. Ada indikasi sebagian monyet berasal dari tangkapan alam yang kemudian "dilegalkan" melalui jalur administrasi. Jika benar demikian, maka perdagangan legal justru menjadi pintu belakang bagi eksploitasi yang semakin merugikan satwa di alam liar.
Beruk memang tidak seintensif monyet ekor panjang dalam perdagangan resmi, tetapi keberadaannya juga sering dimanfaatkan. Di beberapa daerah, beruk dilatih untuk memetik kelapa---a set of skills yang sering dianggap tradisi unik. Praktik ini sah secara budaya, tetapi tanpa pengawasan, juga bisa menjadi pintu masuk eksploitasi.
Perdagangan Ilegal: Pasar Gelap yang Menggiurkan