Malam itu, sekitar jam setengah delapan, pas tanggal ganjil. Jalan Jenderal Sudirman masih ramai banget sama kendaraan. Jakarta kayaknya cuma bisa agak lengang pas Lebaran doang. Lebih dari setengah orang yang lewat situ bahkan bukan warga Jakarta. Ada yang pendatang, ada juga yang dulunya tinggal di Jakarta tapi harus pindah karena ekonomi. Tapi tetap aja, mereka balik lagi ke Jakarta buat cari nafkah karena di tempat sekarang belum tentu hidupnya lebih oke.
Warga asli Jakarta sekarang kayaknya udah di bawah lima puluh persen. Kebanyakan sih orang Betawi, Jawa, Sunda, Tionghoa, sama keturunan Arab. Sisanya, ya pendatang dari berbagai daerah. Jumlah penduduk Jakarta di pertengahan 2024 udah lebih dari sebelas juta orang, padahal luasnya cuma 664 km. Lautnya malah jauh lebih luas, hampir 7.000 km. Bukan wilayah administratif paling luas di Indonesia, tapi soal padat, nomor satu. Wajar sih, namanya juga ibu kota. Secara fungsi masih aktif, soalnya IKN belum benar-benar jalan pas buku ini ditulis.
Sebagai pusat bisnis, politik, dan budaya, Jakarta dipenuhi gedung-gedung kantor, baik BUMN maupun swasta. Kota ini punya makna sendiri buat banyak orang. Di sini orang dari berbagai latar belakang kumpul: suku, bangsa, ekonomi, pendidikan, semuanya nyampur jadi satu. Beneran kota yang nggak pernah tidur. Semacam melting pot-nya Indonesia.
Macet? Udah khas. Dari pagi sampai malam, apalagi di jalan protokol kayak Sudirman, udah pasti padat. Mau pakai sistem three in one, ganjil genap, tetap aja belum ada solusi yang benar-benar works dari para gubernur.
Kita balik ke cerita. Malam itu, kita lagi nyusurin Sudirman menuju Blok M, mau jemput seseorang. Di dalam mobil, Ade---keponakan cewek kesayangan---duduk sambil selonjorin kaki ke dashboard, mata fokus ke ponsel.
"Bi, pernah denger lagu ini nggak?" katanya sambil play lagu dari Spotify premium---nggak ada iklannya.
"Kayaknya sih pernah denger, tapi nggak hafal. Emang kenapa?"
"Ade mau pakai buat backsound video. Buat portofolio gitu. Tapi kalau di-upload ke YouTube, nanti kena copyright nggak, Bi?"
"Iya lah, kalau label atau penyanyinya nggak ngelepas hak ciptanya. Beberapa video editan Abi juga pernah di-mute YouTube karena klaim copyright. Kenapa nggak pakai yang bebas lisensi aja? Banyak, lho. Atau kalau mau gampang, coba aja pakai Suno."
"Itu kan AI music yang sering Abi pakai? Nggak ah, kesannya kurang ori." Ade nurunin kakinya.