Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

TuK INDONESIA: Menuntut Transparansi, tapi Malah Menyembunyikan Hak Pekerja

9 Oktober 2025   12:17 Diperbarui: 9 Oktober 2025   12:17 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Satu Kampanye yang Dilakukan oleh TuK INDONESIA dalam Mendesak Bank Mandiri terkait Pembiayaan Berkelanjutan (https://www.tuk.or.id/)

Organisasi masyarakat sipil yang menuntut transparansi dan akuntabilitas korporasi dan/atau pemerintah seharusnya menjadi teladan internal. Sayangnya, pengalaman saya menunjukkan sebaliknya: ada jurang antara kata-kata besar yang dipublikasikan TuK INDONESIA dan praktik perlakuan mereka terhadap staf sendiri. Ini bukan sekadar perbedaan persepsi, melainkan soal konsistensi etika dan kredibilitas organisasi yang mengklaim membela keadilan.

Di ruang publik, TuK INDONESIA kerap menempatkan diri sebagai penjaga akuntabilitas: mereka menyelenggarakan eksaminasi putusan pengadilan tentang tanggung jawab bank atas dampak sosial-lingkungan, mengundang akademisi dan mahasiswa untuk INDONESIA mengkritisi lemahnya akuntabilitas institusi besar, serta menyerukan agar aktor-aktor ekonomi bertanggung jawab atas dampak operasional mereka. Bahkan, TuK INDONESIA menyorot gagalnya penegakan tanggung jawab Bank Mandiri dan menegaskan pentingnya rekam jejak pembiayaan yang etis.

Mereka juga mempromosikan keterbukaan data kepemilikan manfaat (beneficial ownership) dalam upaya memperkuat tata kelola dan mencegah penyembunyian kepemilikan yang merugikan publik. Dalam studi kasus sektor HTI, TuK INDONESIA menekankan bahwa kebijakan pengungkapan pemilik manfaat harus disertai verifikasi dan pengawasan pemerintah; mereka menyoroti betapa struktur perusahaan yang rumit dapat mengaburkan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Gagasan ini menuntut transparansi, verifikasi data, dan pengawasan yang konsisten.

Namun ketika prinsip-prinsip tersebut diterapkan ke ranah internal, tampak inkonsistensi yang sulit diterima. Saya mengalami kasus di mana hak ketenagakerjaan saya---termasuk pelaporan gaji dan setoran iuran jaminan sosial---tidak ditangani secara transparan dan akuntabel. Ada potongan yang dijelaskan sebagai kebutuhan operasional; ada pelaporan angka upah yang berbeda kepada otoritas; dan ketika saya menanyakan hal itu, proses klarifikasi berlangsung lambat dan cenderung menghindari tanggung jawab. Ini bukan cerita tunggal: pola serupa saya dengar pula dari rekan-rekan di lingkungan organisasi yang sama.

Kontras antara retorika publik dan praktik internal itu lebih dari sekadar "malu-maluin"---ia tentu merusak legitimasi. Menuntut perusahaan besar untuk melakukan verifikasi data kepemilikan manfaat dan menekan bank agar mempertanggungjawabkan pembiayaan yang berisiko adalah tuntutan mulia. Tetapi tuntutan itu otomatis kehilangan bobot ketika organisasi yang mengusungnya sendiri gagal memenuhi kewajiban dasar terhadap karyawannya. Bukankah transparansi yang diminta dari korporasi oleh suatu organisasi sipil juga harus berlaku pada laporan internal, potongan gaji, dan pelaporan kewajiban sosial mereka?

Dimensi Hipokrisi TuK INDONESIA

Ada dua dimensi penting dari hipokrisi ini yang perlu mendapat sorotan publik.

Pertama, moral authority (otoritas moral) yang runtuh. Organisasi berbasis advokasi menuntut akuntabilitas---seharusnya bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai etos. Ketika advokasi itu tidak tercermin dalam praktik internal, klaim moralnya tergerus. Publik berhak bertanya: bagaimana organisasi dapat menuntut verifikasi data dari perusahaan besar jika mereka sendiri tidak bersedia menyajikan data yang jelas tentang praktik ketenagakerjaan mereka?

Kedua, dampak substantif terhadap orang yang rentan. Isu-isu yang TuK INDONESIA perjuangkan---keadilan lingkungan, hak atas transparansi, perlindungan masyarakat terdampak---sering kali membela pihak-pihak yang konon posisinya paling lemah. Ironisnya, ketika organisasi itu sendiri menempatkan karyawannya dalam posisi pembayaran hak yang patut dipertanyakan, kredibilitasnya turun bukan hanya di mata publik, tetapi juga di hadapan mereka yang seharusnya dilindungi. Advokasi menjadi kemunafikan jika hak dasar pekerja tidak dipastikan.

Menjadi jelas bahwa kritik ini bukan serangan personal; melainkan panggilan untuk konsistensi dari TuK INDONESIA. Jika TuK INDONESIA ingin terus menempati ruang sebagai pengawas etika publik, langkah-langkah korektif ini harus segera dilakukan.

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun