Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kalau Lowongan Kerja Penuh Saingan, Saatnya Menjual Skill yang Anda Anggap Biasa Saja

2 Oktober 2025   08:34 Diperbarui: 3 Oktober 2025   04:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skills yang seringkali Anda anggap biasa saja, bisa jadi dibutuhkan di tempat yang tepat (Gemini AI-Generated image)

Pernahkah Anda merasa seperti berdiri di depan pintu yang sama dengan ratusan orang lain, menunggu giliran untuk masuk, padahal ruang di dalamnya sangat sempit? Begitulah kira-kira gambaran mencari pekerjaan di zaman sekarang. Saingan begitu banyak, tapi kursi yang tersedia terbatas.

Tiap tahun, ribuan lulusan baru keluar dari sekolah, perguruan tinggi, bahkan kursus-kursus singkat. Mereka punya semangat, punya ijazah, punya harapan. Tapi lapangan kerja yang tumbuh tidak sebanding dengan jumlah orang yang siap bekerja. Akhirnya, persaingan semakin ketat.

Kalau Anda cuma mengandalkan lowongan kerja yang ada, perjalanan bisa terasa panjang, melelahkan, dan sering penuh kekecewaan. Surat lamaran sudah dikirim, CV sudah diubah-ubah, bahkan sampai ikut pelatihan tambahan, tapi balasan yang datang tetap saja "maaf, Anda belum memenuhi kualifikasi".

Padahal, ada jalan lain. Jalan yang mungkin selama ini Anda pandang sebelah mata. Jalan yang membuat Anda tidak lagi berdiri di pintu yang sama dengan orang banyak, tapi membuka pintu sendiri. Membuat jalan baru, bahkan menyediakan kursi untuk orang lain.

Mengapa Bergantung pada Lowongan Bisa Menyesakkan

Mari bayangkan sebuah adegan kecil. Seorang pemuda datang ke sebuah job fair. Gedung penuh sesak. Antrean mengular. Di setiap booth perusahaan, tumpukan CV sudah setinggi meja. Rasanya seperti ikut undian, siapa tahu keberuntungan berpihak. Tapi kalau dipikir baik-baik, apakah hidup harus selalu digantungkan pada keberuntungan seperti itu?

Realitanya, perusahaan memang tidak bisa menyerap semua tenaga kerja. Bahkan perusahaan besar sekalipun tetap punya keterbatasan. Itu sebabnya, kalau semua orang cuma menunggu perusahaan membuka lowongan, akan selalu ada yang tertinggal.

Secara psikologis, terlalu lama menunggu kepastian juga bisa mengikis rasa percaya diri. Anda jadi mulai bertanya-tanya, "apa memang kemampuan saya tidak cukup?" atau "mungkin saya memang tidak sebaik orang lain?" Padahal, bisa jadi bukan soal tidak mampu, tapi jalannya yang tidak sesuai.

Skills yang seringkali Anda anggap biasa saja, bisa jadi dibutuhkan di tempat yang tepat (Gemini AI-Generated image)
Skills yang seringkali Anda anggap biasa saja, bisa jadi dibutuhkan di tempat yang tepat (Gemini AI-Generated image)

Kemampuan yang Terlihat Biasa, Ternyata Bernilai Mahal

Coba renungkan sebentar. Apa yang paling sering orang lain minta bantuan dari Anda? Apakah diminta memperbaiki komputer, diminta membuat desain undangan, diminta menemani anak belajar matematika, atau mungkin diminta menulis kata-kata untuk caption produk jualan?

Sering kali, sesuatu yang Anda anggap biasa justru istimewa di mata orang lain. Seorang teman bisa saja menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengutak-atik Excel, tapi bagi Anda itu pekerjaan ringan. Atau ada orang yang selalu kebingungan merangkai kata, tapi bagi Anda menulis terasa lancar.

Dalam filsafat, ada istilah hidden capital---modal tersembunyi. Modal ini tidak selalu berupa uang. Bisa berupa keahlian, jaringan sosial, atau bahkan karakter tertentu seperti sabar, teliti, atau kemampuan mendengarkan. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari modal ini karena terlalu sibuk mengejar hal-hal yang dianggap besar.

Padahal, di dunia kerja modern, justru kemampuan-kemampuan "sepele" ini sering dihargai mahal.

Contoh Nyata: Dari Hal Kecil Jadi Pintu Rezeki

Ada seorang ibu rumah tangga yang awalnya cuma suka membuat kue untuk keluarganya. Baginya, itu sekadar hobi. Tapi suatu hari, tetangga yang mencicipi kue buatannya minta dibuatkan juga untuk acara ulang tahun. Dari situ, pesanan datang satu per satu, sampai akhirnya ia harus merekrut orang untuk membantu.

Ada juga seorang mahasiswa yang sering membantu teman-temannya mengoreksi tugas skripsi. Awalnya ia melakukannya cuma karena diminta. Tapi kemudian, ia sadar kalau kemampuan mengedit tulisan bisa dijadikan jasa. Sekarang, ia menerima orderan editing dari berbagai kota, cukup dari laptop dan koneksi internet.

Dua kisah sederhana itu memperlihatkan sesuatu yang sama: apa yang awalnya dianggap "biasa" ternyata bisa menjadi pintu rezeki.

Menghadapi Kendala: Modal dan Rasa Takut

Kalau bicara tentang usaha sendiri, biasanya dua alasan paling umum muncul: tidak punya modal, dan takut gagal.

Soal modal, sering kali orang membayangkan usaha itu harus dimulai dengan uang banyak. Padahal, ada banyak jalan usaha yang justru bermodal kecil, bahkan cuma bermodalkan keterampilan dan jaringan. Dunia digital membuka banyak peluang seperti ini. Menulis, mendesain, menjadi tutor online, menjual produk lewat dropship, semua bisa dimulai dengan biaya nyaris nol.

Tentang rasa takut, itu sebenarnya wajar. Psikologi menyebutnya sebagai loss aversion---kecenderungan manusia lebih takut kehilangan daripada berani mendapat keuntungan. Tapi kalau rasa takut itu dibiarkan, Anda akan terus diam di tempat.

Nilai dalam Islam mengajarkan kalau usaha itu bagian dari tawakal. Anda tidak dituntut memastikan hasil, tapi dituntut untuk mencoba dengan niat baik dan ikhlas. Karena rezeki tidak selalu datang dari jalan yang Anda kira.

Belajar dari Cara Pandang Masyarakat

Sosiologi memberi kita gambaran menarik: banyak orang masih menganggap pekerjaan itu harus formal, dengan gaji bulanan, seragam, dan kantor. Kalau tidak, seolah-olah bukan "pekerjaan sungguhan".

Padahal, dunia sudah berubah. Banyak profesi baru lahir dari perubahan teknologi. Content creator, virtual assistant, konsultan freelance, bahkan penjual kursus digital, semuanya pekerjaan nyata yang bisa menopang hidup.

Jadi, kalau Anda merasa terjebak pada pola lama, mungkin saatnya mengubah cara pandang. Pekerjaan tidak harus selalu berarti diterima perusahaan besar. Pekerjaan bisa juga berarti Anda menciptakan nilai, lalu orang lain menghargai nilai itu dengan uang.

Langkah Pertama: Menemukan Apa yang Bisa Dijual

Pertanyaan pentingnya: bagaimana cara menemukan kemampuan tersembunyi itu?

Caranya sederhana, tapi butuh kejujuran. Tanyakan pada diri sendiri: hal apa yang paling sering membuat orang lain kagum pada Anda, walau Anda merasa itu hal kecil? Apa yang bisa Anda lakukan tanpa merasa terbebani, sementara orang lain justru kesulitan?

Kadang jawabannya bukan skill teknis, tapi sifat. Misalnya, Anda pendengar yang baik. Di dunia yang serba sibuk ini, kemampuan mendengarkan bisa jadi layanan konseling atau coaching.

Kadang jawabannya adalah kebiasaan. Kalau Anda terbiasa rapi dan teratur, mungkin Anda bisa membantu orang lain merapikan jadwal, dokumen, atau bahkan rumah.

Mengubah Kemampuan Jadi Nilai

Begitu menemukan kemampuan itu, langkah berikutnya adalah mencari siapa yang butuh. Filosofinya sederhana: setiap masalah orang lain bisa menjadi peluang bagi Anda.

Kalau ada orang yang tidak sempat membersihkan rumah, lahirlah jasa kebersihan. Kalau ada yang tidak mengerti desain, lahirlah jasa desain grafis. Kalau ada yang kesulitan belajar bahasa, lahirlah kursus privat online.

Tugas Anda adalah menjembatani antara apa yang Anda bisa, dengan apa yang orang lain butuh.

Menjual Kemampuan di Tempat yang Tepat

Di zaman sekarang, "pasar" tidak cuma berarti pasar fisik. Dunia digital memberi Anda ruang tanpa batas.

Kalau Anda bisa menulis, ada platform freelance yang mencari penulis artikel. Kalau Anda bisa desain, ada situs untuk menjual karya digital. Kalau Anda suka berbicara, ada media sosial tempat Anda bisa membangun audiens.

Kuncinya adalah konsisten. Jangan berharap hasil besar dalam semalam. Semua butuh proses. Bahkan pedagang di pasar sekalipun perlu waktu supaya orang percaya dan mau jadi pelanggan tetap.

Makna Spiritual dalam Usaha Mandiri

Kalau direnungkan lebih dalam, usaha mandiri bukan cuma soal uang. Ada makna spiritual di baliknya.

Anda sedang belajar untuk berikhtiar, tidak cuma menunggu. Anda sedang melatih sabar ketika hasil tidak langsung terlihat. Anda sedang melatih ikhlas ketika usaha tidak selalu dihargai sesuai harapan. Dan yang paling penting, Anda sedang memegang amanah: memberi manfaat bagi orang lain.

Bayangkan, kalau usaha Anda bisa membuka lapangan kerja, maka Anda bukan cuma mencari rezeki untuk diri sendiri, tapi juga menjadi jalan rezeki bagi orang lain.

Refleksi dari Perspektif Psikologi dan Filsafat

Psikologi mengajarkan kalau manusia butuh merasa bermakna. Tidak cukup cuma punya penghasilan, tapi juga butuh merasa apa yang dilakukan punya arti. Dengan usaha mandiri, Anda bisa merasakan langsung bagaimana kemampuan Anda memberi manfaat.

Filsafat eksistensial pun menyebut kalau manusia sejati adalah yang berani menciptakan jalannya sendiri, bukan cuma mengikuti arus. Memang, jalan itu tidak selalu mudah. Tapi justru di situ letak kebebasan dan keaslian hidup.

Saatnya Berhenti cuma Menunggu

Kalau sampai di sini Anda masih merasa ragu, coba tanyakan pada diri sendiri: mau sampai kapan berdiri di antrian panjang, berharap nama Anda dipanggil?

Mungkin sudah waktunya berhenti cuma menunggu. Mungkin sudah waktunya menggali kemampuan yang selama ini Anda anggap biasa. Mungkin sudah waktunya menjual kemampuan itu di tempat yang tepat, dan membiarkan dunia menilai nilainya.

Dan siapa tahu, dari langkah kecil itu, Anda bukan cuma menemukan rezeki, tapi juga menemukan makna.

Jadi, kalau lowongan kerja penuh saingan, apakah Anda siap membuat jalan sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun