Pernahkah Anda melihat teman, saudara, atau rekan kerja mengunggah foto dirinya dalam berbagai versi buatan AI?Â
Kadang ada yang tampil bak raja di era kerajaan, ada yang jadi pahlawan super, ada pula yang bergaya seperti karakter animasi. Dalam beberapa detik, wajah yang biasa Anda lihat sehari-hari berubah jadi sesuatu yang penuh fantasi.
Fenomena ini sedang viral, dan hampir semua orang pernah tergoda untuk mencoba. Rasanya seru, bahkan membanggakan, ketika bisa melihat diri sendiri dalam wujud yang selama ini cuma ada di imajinasi.Â
Tetapi di balik keseruan itu, muncul juga pertanyaan: apakah tren ini cuma sekadar hiburan, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?
Rasa Ingin Tahu yang Sulit Dikendalikan
Kalau dipikir, manusia memang makhluk yang selalu penasaran. Ada rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana diri terlihat di mata orang lain, atau bagaimana jadinya kalau hidup di dunia berbeda.Â
Teknologi AI seperti membuka cermin alternatif yang bisa menampilkan versi diri yang beragam, seakan-akan memberi jawaban atas rasa penasaran itu.
Psikologi menyebut hal ini sebagai bentuk "self-exploration" atau eksplorasi diri. Manusia suka mencari identitas, bahkan sekadar lewat visual.Â
Jadi wajar kalau banyak orang tertarik, karena dengan satu klik, mereka bisa membayangkan hidup yang berbeda. Ada rasa kagum, ada rasa lucu, bahkan kadang ada rasa percaya diri yang tiba-tiba meningkat.
Antara Hiburan dan FOMO
Tapi tidak semua orang ikut tren ini karena benar-benar ingin tahu. Ada juga yang cuma merasa takut tertinggal, atau yang populer disebut FOMO (Fear of Missing Out). Anda mungkin pernah merasakannya. Ketika linimasa penuh dengan foto AI orang lain, ada perasaan: "Kalau tidak ikut, rasanya ketinggalan."
Sosiologi menjelaskan kalau manusia hidup dalam jaringan sosial yang penuh tekanan halus. Kalau mayoritas orang melakukan sesuatu, individu cenderung terdorong mengikuti, walaupun sebenarnya tidak begitu minat. Jadi kadang bukan karena Anda benar-benar ingin, tapi lebih karena dorongan sosial.