Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Antara Imajinasi, FOMO, dan Risiko yang Tidak Disadari dari Tren Foto AI

22 September 2025   08:32 Diperbarui: 22 September 2025   11:17 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikhlas pun punya tempat di sini. Kalau memang ingin sekadar hiburan, cukup nikmati seperlunya tanpa harus berlebihan atau merasa perlu validasi dari orang lain. Karena sejatinya nilai diri tidak pernah ditentukan oleh seberapa keren wajah Anda dalam versi AI.

Sisi Psikologis: Validasi dan Penerimaan

Fenomena ini juga tidak bisa lepas dari kebutuhan psikologis manusia untuk diterima. Setiap "like" atau komentar kagum dari teman memberi dorongan dopamin yang membuat otak merasa bahagia. Tidak heran banyak orang ketagihan mengunggah, bahkan mencoba berbagai versi foto AI untuk terus mendapat respons positif.

Tapi di sisi lain, ada bahaya ketergantungan. Kalau kebahagiaan terlalu bergantung pada reaksi orang lain, identitas diri jadi rapuh. Begitu tidak ada yang memperhatikan, muncul rasa kosong.

Padahal kebahagiaan sejati bukan soal bagaimana orang lain melihat Anda, tapi bagaimana Anda menerima diri sendiri. Foto AI mungkin menyenangkan, tapi tidak seharusnya jadi penentu rasa percaya diri.

Antara Imajinasi dan Realita

Menariknya, tren ini juga menunjukkan kalau manusia selalu hidup di dua dunia: dunia nyata dan dunia imajinasi. Dunia nyata sering penuh keterbatasan, sementara dunia imajinasi memberi ruang tanpa batas. AI cuma mempercepat pertemuan dua dunia itu.

Kalau dipikir lebih jauh, ada hikmah yang bisa dipetik. Kalau sebenarnya manusia selalu punya keinginan untuk "melihat lebih" dari dirinya sekarang. Tapi bukankah itu juga pengingat kalau kehidupan ini memang sementara? kalau seindah apapun bayangan, yang paling penting tetaplah amal nyata dan peran Anda di dunia ini?

Media, Budaya, dan Normalisasi

Media sosial punya peran besar dalam membuat tren ini meledak. Dengan algoritma, foto AI tersebar luas dan cepat. Semakin banyak orang ikut, semakin normal terlihat. Lama-lama, orang tidak lagi bertanya "kenapa harus ikut," tapi langsung menganggapnya wajar.

Inilah yang disebut normalisasi budaya. Sesuatu yang awalnya cuma tren kecil bisa berubah jadi kebiasaan massal. Dari sisi sosiologi, ini menarik karena memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh media dalam membentuk perilaku kolektif.

Tapi normalisasi juga membawa risiko: orang jadi malas berpikir kritis. Kalau semua orang ikut, dianggap aman. Padahal kenyataannya belum tentu begitu.

Menghadapi dengan Bijak

Jadi, apakah salah ikut tren foto AI? Tidak selalu. Selama sadar dengan risiko dan tidak menjadikannya sebagai pusat nilai diri, sah-sah saja kalau cuma ingin sesekali bersenang-senang. Yang penting, jangan kehilangan kendali.

Ada baiknya juga Anda berhenti sejenak sebelum ikut-ikutan. Tanyakan pada diri: apa niat sebenarnya? cuma hiburan? Cari validasi? Atau sekadar takut ketinggalan? Dengan begitu, Anda bisa lebih jernih dalam menentukan langkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun