Setiap Orang Punya Tujuan dan Kapasitas yang Berbeda
Ada orang yang memang menjadikan media sosial sebagai ladang dakwah. Ada yang menjadikannya sebagai portofolio karya. Ada pula yang cuma ingin berbagi kabar atau mencari inspirasi. Bahkan, tak sedikit yang cuma scroll diam-diam tanpa pernah memberi komentar atau likes.
Apakah mereka salah? Tentu tidak.
Dalam Islam, kita tidak diukur dari seberapa sering kita muncul, tapi apa nilai yang kita bawa, dan seberapa jujur kita terhadap niat kita sendiri.
Imam al-Ghazali pernah berkata kalau amal yang besar itu bukan cuma tentang kuantitas, tapi tentang keikhlasan dan niat yang lurus. Sama halnya di media sosial: kamu boleh saja tidak pernah posting, tapi kalau kamu menggunakan waktumu di sana untuk mencari ilmu, menghindari ghibah, atau bahkan cuma untuk melepas penat tanpa dosa --- itu lebih baik daripada rajin posting tapi penuh riya atau menyakiti orang lain.
Jangan Terjebak dalam Perlombaan yang Tak Perlu
Zaman ini memang zaman FOMO --- fear of missing out. Takut tertinggal. Takut tak terlihat. Takut tak dianggap.
Tapi kalau kita terlalu fokus pada penilaian orang, kita mudah lupa kalau penilaian manusia tidak lebih penting dari penilaian Allah. Kita bisa saja viral, disukai, dan terkenal di dunia maya, tapi apakah itu semua mendekatkan kita kepada ridha-Nya?
Media sosial bisa jadi ladang pahala. Tapi juga bisa jadi jebakan yang halus tapi membahayakan. Seperti kata pepatah Arab:
"Betapa banyak hal yang terlihat indah di luar, tapi di dalamnya ada racun."
Posting yang penuh kebaikan bisa menjerumuskan kalau tujuannya cuma untuk pamer atau mencari validasi. Tapi komentar sederhana yang tulus bisa jadi sedekah lisan. Semua kembali ke niat.
Islam Tidak Pernah Menstandarkan 'Aktif' Sebagai Ukuran Kebaikan
Coba perhatikan para sahabat Rasulullah . Ada yang terkenal karena kefasihan bicaranya, seperti Abu Bakar dan Umar. Tapi ada juga yang lebih pendiam, tidak banyak bicara, tapi tetap mulia dan dicintai Rasulullah --- seperti Utsman bin Affan.