Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Tatapan Kosong Seorang Ayah, Ada Beban yang Tak Terucap

13 Juni 2025   11:20 Diperbarui: 13 Juni 2025   11:20 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibalik tatapan kosong seorang ayah, ada beban yang tak pernah ia ucapkan (Freepik)

Pernahkah Anda memperhatikan seorang bapak-bapak yang duduk diam di pinggir jalan, di bangku taman, di sudut warung kopi, atau bahkan di ruang tamu rumahnya sendiri? Ia tidak bermain ponsel, tidak menonton televisi, tidak berbicara dengan siapa pun. Ia cuma duduk, memandang kosong ke kejauhan, seolah sedang menatap sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata orang lain. Anda pun mulai menebak-nebak: "Apa yang sedang ia pikirkan?"

Wajahnya mungkin terlihat tenang, tapi kalau Anda memperhatikan lebih dalam, ada sorot mata yang menyimpan lelah. Bukan cuma lelah fisik, tapi juga lelah batin. Ada tanda-tanda kegundahan yang tidak diucapkan. Ada beban yang dipikul, yang tidak pernah ia bagi dengan siapa pun. Mungkin Anda jadi berpikir, "Kasihan juga ya, pasti banyak yang jadi beban di pikirannya." Dan kemungkinan besar, Anda tidak salah.

Karena sering kali, di balik lamunan seorang ayah, tersembunyi ribuan kekhawatiran. Tentang kebutuhan rumah tangga yang makin menumpuk. Tentang uang sekolah anak yang belum dilunasi. Tentang cicilan motor atau rumah yang sebentar lagi jatuh tempo. Tentang harga beras yang naik, tentang listrik yang belum dibayar, tentang minyak goreng yang makin mahal. Tentang bagaimana cara supaya besok tetap bisa membawa sesuatu pulang ke rumah. Tentang masa depan keluarganya, yang seolah-olah semua ada di tangannya.

Menjadi Ayah Bukan Cuma Peran, Tapi Perjuangan yang Tidak Pernah Usai

Sejak seseorang diberi gelar "ayah," hidupnya berubah total. Anda yang tadinya bisa memikirkan diri sendiri, kini harus memikirkan banyak kepala. Anda yang dulunya cuma menanggung kebutuhan pribadi, kini menjadi penopang utama kehidupan keluarga. Anda tidak lagi bisa berpikir pendek. Anda harus berpikir lima langkah ke depan. Bahkan kadang sepuluh.

Setiap pagi ketika Anda berangkat kerja, meskipun badan belum sepenuhnya pulih dari lelah kemarin, Anda tetap melangkah. Bukan karena Anda tidak ingin istirahat, tapi karena Anda tahu ada istri dan anak-anak yang menggantungkan harapan pada langkah kaki Anda. Dan meski tidak ada yang secara langsung mengatakan "Ayah harus kuat," Anda tahu kalau itulah ekspektasi yang selalu melekat pada Anda. Bahkan dalam diam.

Tapi, menjadi kuat itu bukan berarti tidak boleh lelah. Tidak berarti tidak boleh bingung. Tidak berarti tidak boleh merasa takut gagal. Sayangnya, banyak ayah yang merasa harus menyembunyikan semua itu. Merasa kalau menunjukkan kelemahan sama dengan menurunkan harga dirinya. Padahal justru di situlah letak salah paham yang paling menyakitkan: ketika seorang laki-laki merasa tidak punya ruang untuk mengeluh, bahkan di dalam rumahnya sendiri.

Anda Tidak Harus Menyelesaikan Semua Sendirian

Banyak ayah yang mencoba memikul semuanya sendiri. Bukan karena ingin menjadi pahlawan, tapi karena tidak tahu harus berbagi kepada siapa. Kadang istri pun tidak tahu beban yang sebenarnya sedang Anda tanggung. Anak-anak tentu tidak mengerti. Teman? Anda mungkin tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Maka, Anda memilih diam. Anda memilih memendam semuanya sendiri.

Tapi sampai kapan?

Tubuh manusia punya batas. Pikiran juga punya ambang ketahanan. Tidak ada manusia yang bisa terus kuat tanpa jeda. Tidak ada pundak yang mampu menopang semuanya tanpa bantuan. Kalau Anda merasa semua sudah terlalu berat, maka mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan bertanya: "Apakah saya sudah melibatkan Allah dalam semua ini?"

Karena sejatinya, Anda tidak diciptakan untuk menyelesaikan segalanya sendirian. Bahkan Rasulullah sekalipun---yang paling kuat, paling sabar, paling tawakal---masih menangis dalam doa-doanya, meminta pertolongan pada Allah di sepertiga malam. Lalu siapa kita, sampai merasa tidak butuh bersandar pada-Nya?

Doa Adalah Senjata yang Sering Terlupakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun