Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pancasila Rumah Kita, Rumah Pemersatu (Refleksi di Hari Lahirnya Pancasila 01 Juni 2020)

1 Juni 2020   18:45 Diperbarui: 1 Juni 2020   18:50 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Jalan Damai (https://jalandamai.org/ )

Pancasila rumah kita

Rumah untuk kita semua

Nilai dasar Indonesia

Rumah kita selamanya...

------------------------------------------------------------------------

Penggalan lirik lagu 'PANCASILA RUMAH KITA' karya Frangky Sahilatua mengawali tulisan singkat saya untuk merenung Hari Lahirnya Pancasila pada hari ini, 01 Juni 2020 untuk melihat kembali Pancasila yang sudah mempersatukan kita selama ini.

Ada suatu pertanyaan yang mungkin agak aneh. "Siapakah di antara kita yang tidak merindukan adanya persatuan?" Mengapa saya katakan aneh, karena pertanyaan itu sudah sangat jelas, sehingga tidak perlu dilontarkan lagi sebagai suatu pertanyaan, dan sekalipun ada jawaban yang jelas dan mendasar, tetapi pertanyaan itu sendiri terasa masih mengambang dan tidak jelas mana titik pangkal dan muaranya. 

Karena itu, dengan sedikit berfilsafat, pertanyaan itu menjadi gamblang, dan permasalahan yang diajukan menjadi tidak mudah dan sederhana untuk diselesaikan seperti yang kita sangka.

Saya mengajak kita untuk coba bertanya kedalam diri sendiri, seperti dalam bahasa Latin dinamakan 'soliloqui' (bertanya kepada diri sendiri dalam sebuah refleksi), satukah aku? atau satukah anda? Jawabannya sangat jelas, bahwa 'aku' atau 'saya' adalah satu kesatuan yang utuh. 

Apa saja yang saya lakukan, pikirkan, alami, dan yang saya harapkan semuanya menyatu dalam diri saya. Jelas sekali, bahwa saya yang sedang membaca atau sedang belajar, satu dan sama dengan saya yang tadi sedang makan, atau sama dengan saya yang tadi sedang bekerja, sedang sedang beraktivitas, sama dengan saya yang sedang galau dan cemas akan bahaya Covid-19, dan akan tetap satu dan sama dengan saya yang akan berbuat sesuatu yang lain nanti dan seterusnya.

Karena itu, ada kesadaran bahwa saya yang dahulu tetap satu dan sama dengan saya yang sekarang dan saya di kemudian hari (nanti). Akhirnya, saya adalah satu dan sama, entah dengan siapa atau apa pun, berkomunikasi serta berinteraksi. 

Saya yang tadinya berkomunikasi dengan Tuhan dalam doa, satu dan sama dengan saya yang sedang berkomunikasi dengan orang lain. Saya tetaplah 'saya' yang satu, unik dan yang tak bisa dipertukarkan dengan apa pun yang lain, sekalipun yang lain itu sangat berharga atau bernilai.

Memang benar bahwa saya dan kita semua tentunya, mempunyai kesadaran yang tinggi akan kesatuan dalam diri pribadi, baik dalam hubungan dengan berbagai pengalaman, dalam hubungan dengan waktu di mana kita berkembang, maupun dalam berkomunikasi dengan yang lain. 

Akan tetapi, dibalik keyakinan akan yang satu, sama dan unik itu, ada pertanyaan yang menggergoti rasa kesatuan dan keutuhan diri, yang tidak mudah untuk disatukan dalam suatu keutuhan yang integral. 

Kehidupan saat itu begitu kompleks, baik dalam taraf kesadaran maupun dalam tuntutan kebutuhan hidup kita masing-masing. Kesadaran akan keberagaman hal yang menyangkut diri kita, membuat kita merasa tidak bisa bersatu secara untuh. 

Bukankah sebagai pribadi biasa kita sering terlibat dalam perang batin karena apa yang diketahui dan dikehendaki berbeda atau bahkan bertolak belekang dengan kenyataan? 

Misalnya, ketika orang lain berbicara tentang diri kita, yang mungkin sangatlah masuk akal, tetapi kerena perasaan dan egoisme, sering kali kita memberontak dan mencari cara lain untuk membenarkan diri, bahkan mencari cara untuk membalas dendam kerena perasaan kita tadi tidak bisa menerima begitu saja. 

Daftar persoalan ini bisa kita perpanjang sendiri sesuai pengalaman kita masing-masing. Intinya, semua itu membuat kita tidak percaya bahkan bingung untuk menentukan siapakah diri kita sebenarnya dan bagaimana menciptakan suatu kesatuan yang utuh.

Dalam kenyataan hidup bersama, ada banyak hal yang berbeda dan saling bertentangan. Namun perbedaan dan pertentangan itu tidak boleh membuat kita patah semangat dalam menciptakan kesatuan yang utuh. 

Kita menyadari bahwa diri kita merupakan satu kesatuan yang utuh dari berbagai unsur yang memiliki kebutuhan yang berbeda dan pemenuhan yang berbeda pula. Namun kesatuan diri sebagai suatu subyek yang sama dalam pelbagai pengalaman yang berbeda, merupakan syarat mutlak kepribadian yang kokoh. 

Kepribadian yang kokoh itu menuntut adanya kesatuan ide dalam diri, khususnya dalam menanggapi dan memenuhi banyak tuntutan. Sebenarnya, kesadaran akan kesatuan sudah tercermin dalam sejarah kehidupan dan pemikiran manusia di segala zaman, mulai dari zaman Klasik sampai post modern saat ini, baik itu di bidang Pengetahuan, maupun Moral.

Berhubungan dengan kesatuan pengetahuan, sejak Plato (Seorang Filsuf Klasik-Yunani) sudah ada kesadaran akan pentingnya kesatuan pengetahuan manusia sebagai saranya untuk mencapai tujun hidup yang sesungguuhnya. 

Bagi Plato, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan mengenai dunia 'ide'. Maka kalau manusia ingin mencapai tujuan hidupnya, yaitu jiwa yang terbebaskan, maka ia harus memiliki pengetahuan sejati untuk mengarahkan hidupnya. Berarti, hanya ada satu pengetahuan yang penting diketahui yaitu pengetahuan akan dunia ide. 

Keinginan kesatuan pengetahuan ini kembali ditegaskan oleh salah seorang Filsuf Modern seperti Rene Descartes. Bagi Descartes, hanya ada satu pengetahuan dan satu metode. Pengetahuan yang satu itu harus bersifat pasti dan eviden. Pengetahuan itulah yang akan membawa manusia pada satu kebijaksanaan yang satu dan sama. Maka pengetahuan yang berbeda-beda harus mengacu pada pengetauan yang sama.

Sealin itu, manusia juga mendambakan kesatuan, dalam hal kehidupan moralnya. Etika Thomas Aquinas (Filsuf Klasik-Abad Pertengahan), yang didasarkan pada etika Aristoteles, bersifat eudaimonistik dan teologis. 

Segala tindakan manusia selalu tertuju pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi tindakan manusia adalah Allah sendiri sebagai kebaikan tertinggi dan tak terbatas. Kebahagiaan tertinggi ini, diterangkan oleh budi praktis manusia sebagai prinsip moral, yaitu bahwa kebaikan harus dikerjakan dan dikejar. 

Hukum moral adalah cerminan hukum kodrat. Dan hukum kodrat adalah cerminan hukum abadi, yang tidak lain adalah kehendak Allah sendiri. Karena saya menganut paham Monoteis, maka bagi saya Allah hanya satu dan karena itu kehendak-Nya juga hanya satu. Hukum kodrat berlaku untuk semua manusia. Jadi terdapat kesatuan hukum moral, yang adalah cerminan hukum kodrat, bagi manusia di mana pun dan kapan pun.

Dari pembahasan di atas, harus dikatakan bahwa kerinduan bangsa Indonesia akan terwujudnya kesatuan dari pengalaman yang beraneka ragam tersebut merupakan perwujudan kerinduan dari segenap manusia sepanjangg sejarah bangsa ini. 

Kerinduan kesatuan itu terkristal dalam 'PANCASILA'. Kesatuan yang terwujud dalam Pancasila itu, menuntun kita kepada kesadaran bahwa hal inilah yang harusnya menjadi fokus perhatian, keprihatinan dan dambaan bangsa Indonesia, baik dalam memandang kehidupan, maupun daam memperjuangkannya. 

Untuk itulah dalam upaya merumuskan filsafat pancasila, kita perlu bertolak dari kerinduan tersebut. Kerinduan akan kesatuan dalam keberagaman ini tersirat juga dalam 'Eka Darmaputra' yang mengidentifikasinya dalam pandangan dunia yang totalistis, dualistis dan hirarkis. 

Namun, Eka Darmaputra sediri mengakui bahwa penekanan pada 'Bhineka Tunggal Ika' yang dihidupi bangsa Indonesia lebih merupakan keyakinan yang implisit dari pada ajaran yang jelas dan tegas.

Sangat diharapkan agar yang merupakan 'ortopraksi' dikembangkan menjadi 'ortodoksi', sehingga perjuangan bersama bangsa Indonesia mendapat pegangan yang kuat dan jelas. Dengan kata lain, eksplisitasi dari apa yang implisit masih merupakan harapan yang perlu ditanggapi dan diperhatikan serius.

Dalam kaitannya denga Pancasila, Driyarkara memahami kesatuan dari keberagaman itu dengan bertitik tolak pada manusia. Dia mengatakan : "Pancasila adalah inheren (melekat) pada diri manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan yang tertutup pada kongkretnya. Sebab itu dengan memandang kodrat manusia 'qua talis' (sebagai manusia), kita juga akan sampai pada Pancasila ". 

Namun penyajian Driyarkara ini harus diberi catatan. Pertama, dari apa yang dikatakannya itu, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa manusia merupakan pusat terpenting dari kenyataan. Yang menjadi prioritas utama adalah Tuhan sendiri. Kita manusia hanyalah merupakan salah satu 'akibatNya'. 

Kedua, penalaran Driyarkara lebih mengarah kepada pembenaran Pancasila sebagai filsafat dari pada mengutarakan suatu filsafat yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri. Walaupun demikian, harus diakui bahwa apa yang dikatakan Driyarkara ini juga bermanfaat bagi dialog antara bangsa Indonesia dengan negara-negara yang bertitik tolak pada kemanusiaan. 

Namun apa persisnya filsafat yang terdapat dalam Pancasila tetap belum tersingkap. Untuk itu, filsafat yang merupakan sistem ide yang terkandung di dalam Pancasila perlu mendapat perumusannya yang tepat.

Dalam upaya menyingkapkan filsafat yang terkandung dalam Pancasila, Notonegoro mengatakan bahwa Pancasila merupakan asas kerohanian yang mempunyai susunan hirarkis piramidal. Ia melihat bahwa gerakan dari sila pertama sampai pada sila ke lima, merupakan gerakan dari asas yang terluas sampai kepada asas yang khusus. 

Sila yang awal merupakan dasar bagi sila berikutnya dan sila yang kemudian merupakan pengkhususan dari sila sebelumnya. Karena itu, baginya Pancasila harus dilihat sebagai suatu kesatuan dengan susunan yang tertentu pula.

 Maka, apa yang bisa kita pelajari dari tesis Notonegoro ini? Yang jelasnya, adalah bahwa cara memandang Pancasila sebagai satu kesatuan yang butir-butirnya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, sangat sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi fokus pembicaraan kita. 

Dari sini, dapat kita lihat, ternyata semangat dan kerinduan untuk bersatu dalam diri bangsa Indonesia telah terukir dalam setiap hati manusia. Dan semangat itu terangkum dalam PANCASILA dengan salah satu filsafatnya yaitu Bhineka Tuunggal Ika. 

Semangat filsafat Bhineka Tunggal Ika yang ada dalam Pancasila harus menadi dasar bagi cara pandang kita dalam memahami Pancasila, di mana sila-sila yang berbeda itu perlu mendapat tekanan. Dengan begitu, kerinduan untuk bersatu dalam keberagaman kita semua dapat tercapai. 

Together  We  Can...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun