Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita Seorang Penyintas yang Kesulitan Menerima Bantuan Saat Bencana di Palu

3 Januari 2019   12:41 Diperbarui: 5 Januari 2019   17:35 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dampak Tsunami, Regional Kompas

pengungsi, UNHCR
pengungsi, UNHCR
Meninggalkan kampung halaman menuju wilayah asing yang, mungkin, jauh lebih tidak beradab dibanding sebuah pedesaan yang mengandalkan toleransi serta tenggang rasa, rasanya sulit. Individualisme telah mengakar di tiap kota yang mengutuk dirinya dengan sebutan metropolitan dan mengagungkan hidup dengan bermacam kemewahan.

Namun apa daya, keadaan memaksanya. Ketiadaan tempat yang layak ditambah berkah dari Tuhan karena memberkatinya anak berusia balita saat bencana berlangsung membuatnya pasrah. Menguatkan langkah kaki menuju tanah harapan harus di siapkan, bermodal nekat dan menumpang hidup dari sang kakak.

Trauma yang dibawa sejak kejadian di Palu masih membayangi. Suara gemuruh membuat hatinya was-was. Alam bawah sadarnya memberi sugesti untuk lari, gemuruh layaknya pistol yang ditembakan oleh juri balap lari untuk memulai start. Lari. siapa yang berani melawan gulungan ombak setinggi 11,3 meter itu.

"Kalau mikirnya pertimbangannya, ya adik perempuan mau, lalu istri mau, anak kalau dia bisa ngomong juga pasti mau. Daripada di pengungsian kan di sini tidur di kamar gak perlu takut bencana. Saking traumanya, bukan saya saja mungkin juga orang Palu pada umumnya dengar orang tutup kulkas atau tutup mobil, pagar, udah ancang-ancang mau lari pokonya yang suaranya seperti gemuruh itu lah yang kenceng. Saya juga gitu pertama kali saya datang itu, 2 sampai 3 hari saya datang ke Jakarta setiap ada yang tutup mobil pasti angkat pantat siap-siap lari."

Dengan matanya yang tak terlalu bulat tapi cukup dalam dari kelopak mata membuat siapa saja yang melihatnya menggangap bila Viki merupakan orang yang tegas. Namun keteguhan itu tetap saja luntur ketika berbicara tentang keadaan sang anak dan detik-detik menegangkan ketika merasakan bencana sedahsyat itu.

www.undispatch.com
www.undispatch.com
Air dengan cepat menggenangi bola matanya, sesekali dia coba tegar dan mendongakan kepalanya ke udara agar air suci itu tak menetes membanjiri pipi yang memiliki bekas jerawat di beberapa titik. Beruntunglah, ajakan dari kawan di sebelah kanan untuk bertanding dapat menyudahi percakapan tersebut.

Akhirnya kami bertanding sepak bola di konsol permainan. Dia memakai Juventus, klub yang tentu saja dia benci tapi Viki pasti lebih tak tega bila klub impiannya, Milan, dengan materi pemain ala kadarnya dijadikan makanan empuk klub raksasa, Paris Saint German kala itu. Skor berkesudahan 2-1 untuk kemenangan Juve, pemenang harus ditentukan melalui babak perpanjangan waktu.

Kemenangan ini sengaja diberikan agar luka Viki sedikit terobati, dalam bertandingpun kami saling bercanda apalagi taktik yang kala itu dipakai adalah parkir bus, sehingga pemain hebat macam Cristiano Ronaldo, Paulo Dybala, dan Blaise Matuidi bebas melayangkan tembakan roketnya dari luar kotak pinalti gawang yang dijaga oleh Gialuigi Buffon.

Elakan seperti itu wajar saja bila dilukiskan oleh penulis, bukan? Toh banyak juga politisi yang berkilah. Apalagi bila menemukan fakta seperti ini, sebuah keadaan nyata yang dirasakan langsung oleh pengungsi.

Mengingat potensi bencana di Indonesia cukup besar, masalah-masalah ini harus segera ditanggulangi dan berbagai alat deteksi bencana kembali diaktifkan atau dilengkapi untuk mengurangi korban. Kembali menertibkan warga yang mendirikan rumah di atas tanah rawan bencana harus dilakukan agar kejadian likufaksi nantinya tak kembali terulang.

Semoga 2019 duka tidak lagi membayangi dan isak tangis menjauh dari perjalanan Indonesia mejejaki tangga menggapai impian yang mirip bola, bergulir ke sana kemari. Menunggu untuk dikontrol oleh kaki-kaki mungil rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun