Pendahuluan
Latar Belakang
Beradaptasi dari masa SMA ke perkuliahan dapat menjadi salah satu fase yang paling menjemukan bagi seorang mahasiswa baru. Mahasiswa baru dituntut untuk menjalani kehidupan mandiri yang jauh dari orang tua, melakukan manajemen finansial sendiri, menjalin pertemanan dengan orang-orang baru, memenuhi  ekspektasi akademik yang tinggi baik dalam hal ini berasal dari dosen ataupun orang tua, serta menyesuaikan jadwal kuliah yang berubah-ubah. Hal-hal tersebut dapat membuat mahasiswa baru kewalahan, stres, overthinking, cemas, khawatir, dan merasa tertinggal atau tidak mampu dalam mengikuti perkuliahan, yang apabila dibiarkan dapat berujung pada kondisi psikologis demotivated atau kehilangan motivasi, semangat, serta dorongan dalam menempuh perkuliahan.
Kondisi demotivated dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang cukup merugikan, seperti hasil pembelajaran yang kurang memuaskan, pencapaian prestasi yang kurang maksimal, serta partisipasi dalam lingkungan sosial yang pasif. Upaya preventif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut oleh pihak yang terlibat. Upaya preventif yang dapat dilakukan untuk mencegah risiko terjadinya kondisi tersebut bisa dimulai dari mencegah faktor-faktor terjadinya demotivated untuk tumbuh dan mengakar pada diri seorang mahasiswa baru. Perlu adanya upaya dari pihak yang terkait, dalam hal ini pihak universitas, untuk dapat menciptakan lingkungan perkuliahan yang nyaman dan suportif dengan cara menginisiasi berbagai kegiatan bonding antarmahasiswa agar saling mengenal dan membatu apabila ada yang menghadapi kesulitan, mencetuskan program konseling bagi mahasiswa yang membutuhkan dengan tetap menjaga privasi mahasiswa sehingga mereka merasa terlindungi dan mendapatkan dukungan emosional, serta meluncurkan acara seminar terkait manajemen stres dan pentingnya menjaga kesehatan mental bagi mahasiswa.
Â
Rumusan Masalah
Faktor yang memberatkan mahasiswa baru dalam menjalani proses transformasi ini dapat berbeda-beda pada setiap individunya. Salah satu faktor yang acapkali dianggap membebani adalah tuntutan untuk beradaptasi dengan orang-orang baru. Pada setiap diri mahasiswa baru tentunya terdapat permasalahan pribadi yang mungkin belum teratasi atau istilah populernya "belum berdamai dengan diri sendiri". Bentuk permasalahan pribadi masing-masing individu tentunya juga berbeda-beda. Sebagai contoh, ada mahasiswa baru yang belum puas atas pencapainnya saat ini dan masih berharap untuk dapat berkuliah pada jurusan atau kampus impiannya. Kondisi seperti ini seharusnya dapat disembuhkan oleh pelukan erat dari orang-orang sekitar. Akan tetapi, bagaimana apabila mahasiswa baru dengan kondisi demikian justru mendapatkan lingkungan pertemanan yang bersifat individualistik dan kurang peduli terhadap sesama? Hal ini tentunya akan memperparah kondisi dari mahasiswa tersebut, dimana lingkungan pertemanan menjadi hal yang sangat krusial bagi seorang mahasiswa baru untuk dapat berkembang secara positif dan memaksimalkan potensi dirinya. Lingkungan pertemanan yang suportif diyakini memiliki korelasi positif terhadap prestasi akademik yang diraih oleh mahasiswa. Ketika mahasiswa cukup beruntung dalam mendapatkan lingkungan pertemanan yang suportif, mahasiswa akan memiliki motivasi dan dorongan kuat dalam mencapai prestasi akademik yang maksimal. Namun, sayangnya tidak semua mahasiswa cukup beruntung untuk mendapatkan lingkungan pertemanan yang suportif selama menempuh perkuliahan.
Faktor-faktor penghambat proses transformasi ini bisa saling berkaitan sehingga dapat menyebabkan stres berkepanjangan pada mahasiswa. Contohnya, dapat kita ambil dari kasus tersebut dimana mahasiswa merasa tidak nyaman akan lingkungan pertemanan yang didapati sehingga menciptakan keadaan dimana mahasiswa merindukan kehangatan dari orang-orang terdekat yang berada jauh di perantauan atau populer disebut dengan istilah homesick. Keadaan ini dapat cukup mendistraksi fokus mahasiswa dalam menempuh perkuliahan akibat kurangnya kehangatan dan dukungan dari orang-orang sekitar yang seharusnya dapat memberikan rasa aman. Maka dari itu, perlu dibangun lingkungan perkuliahan yang nyaman, di mana seluruh mahasiswa baru merasa dilibatkan, sehingga tercipta suasana yang suportif diantara mahasiswa baru. Pihak terkait dapat menginisiasi kegiatan yang mendukung terciptanya lingkungan suportif bagi mahasiswa baru. Selain itu, pihak terkait juga dapat melakukan pengecekan berkala untuk memastikan kesehatan mental serta kendala yang mungkin dialami mahasiswa baru agar dapat diatasi bersama. Dengan demikian, diharapkan seluruh mahasiswa baru dapat melalui masa adaptasi dengan baik dan memulai perkuliahan dengan langkah yang positif.
Isi
Stres yang dialami oleh mahasiswa baru selama memulai masa perkuliahan dapat bersumber dari berbagai hal, mulai dari tekanan akademik, tekanan sosial, masalah personal, dan masih banyak lagi. Ketika memulai perkuliahan, ada kemungkinan mahasiswa baru mengalami culture shock akan teknis pembelajaran dalam perkuliahan. Mulai dari kebiasaan mengajar dosen yang jauh berbeda dengan guru, jam perkuliahan yang berbeda-beda dan berubah-ubah, hingga materi pembelajaran di perkuliahan yang cukup asing di telinga mahasiswa baru. Kegiatan pembelajaran oleh dosen dapat terasa cukup membebani bagi mahasiswa baru apalagi ketika dosen memberikan ekspektasi berlebih pada hasil pembelajaran yang dilaksanakan oleh mahasiswa baru. Dalam hal ini, mahasiswa baru masih sangat awam dalam memiliki penguasaan ilmu pada mata kuliah sehingga tuntutan berlebih dari dosen dirasa cukup membebani mahasiswa baru. Selain itu, dalam suasana pembelajaran, seringkali didapati mahasiswa baru merasa tertinggal dan tidak mampu mengikuti materi perkuliahan. Hal ini disebabkan karena kebiasaan membandingkan diri pada mahasiswa baru dengan teman-temannya yang lebih cepat menyerap materi perkuliahan. Kedua hal ini dapat membuat mahasiswa baru merasa terpojokkan sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan, seperti kondisi demotivated, homesick, hingga yang terparah pada kondisi depresi.
Selain tuntutan akademik yang besar, mahasiswa baru juga dihadapi dengan tuntutan sosial dalam beradaptasi serta bekerja sama dengan orang-orang baru. Mahasiswa baru dituntut untuk melakukan kegiatan-kegiatan kolaborasi dengan orang-orang baru. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi hal yang menyenangkan sekaligus menguras tenaga bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru acapkali merasa kewalahan ketika mendapatkan rekan kelompok yang tidak partisipatif atau sering disebut sebagai "beban kelompok". Mahasiswa baru terpaksa mengerjakan pekerjaan ekstra untuk menutupi kekurangan yang disebabkan oleh rekan kelompoknya yang tidak kolaboratif tersebut. Keadaan ini sering memicu kondisi overwhelmed (kewalahan) yang berujung pada ketidaknyamanan akan lingkungan perkuliahan. Selain itu, maraknya praktik per-circle-an dalam perkuliahan juga sering kali membuat mahasiswa baru merasa terpinggirkan atau terdiskriminasi. Praktik ini juga termasuk salah satu alasan yang melatarbelakangi ketidaknyamanan mahasiswa baru atas lingkungan perkuliahan.