Mohon tunggu...
Kacamata Diani
Kacamata Diani Mohon Tunggu... Lainnya - Social Media Specialist

Kalau pikiran lagi semrawut, menulis adalah obatnya. Setidaknya, menulis bisa mengurangi 50% beban pikiran yang terlalu lama dipendam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menikah Bukan Ajang Perlombaan

3 November 2020   15:05 Diperbarui: 4 April 2021   21:01 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Resepsi megah serta seulas senyum yang terpatri di bibir pengantin membuat citra pernikahan terlihat bahagia dan penuh warna. 

Memang benar, pernikahan identik dengan rasa bahagia karena akhirnya sepasang pengantin bisa menyambut hari yang telah mereka nanti-nantikan, dimana sebuah ikatan suci menyatukan dua kepala.

Hal tersebut juga yang membuat beberapa orang tergiur ingin melangsungkan pernikahan. Bahkan, tak jarang saya menemukan fenomena sepasang remaja menikah muda dengan alasan yang menurut saya tidak cukup untuk memaknai arti pernikahan itu sendiri.

Nikah muda memang tidak salah, mau muda atau tua, selagi tidak melanggar aturan, sah-sah saja menikah. Pada dasarnya menikah itu bukan persoalan umur, melainkan tentang kesiapan. Pertanyaannya, apakah semua pernikahan didasari dengan kesiapan?

Jika hati sudah menggebu-gebu, siapa saja bisa menjawab "siap" tanpa memikirkan konsekuensi serta tanggungjawab atas kata siap yang dilontarkan. 

Mungkin saja, mereka sudah terlanjur mendambakan indahnya kehidupan setelah menikah seperti di novel-novel romansa, namun mengenyampingkan realita berumah tangga sesungguhnya.

Saya tidak bilang jika menikah itu buruk, justru banyak sekali manfaat positif yang bisa didapat dari pernikahan. Hanya saja, alangkah baiknya jika kita menyiapkan diri terlebih dulu untuk menghadapi pasang surut berumah tangga. Namanya kehidupan, siklus roda berputar akan terus berlaku sekecil apapun masalahnya.

Jangan sampai kehidupan rumah tangga yang seharusnya indah berubah sengsara karena mental kita belum siap melalui semua fase. Akibatnya, kedua belah pihak menyerah dan angka perceraian pun bertambah.

Bukan hanya soal mental, menurut saya kesiapan finansial juga harus dipertimbangkan karena setelah menikah seharusnya kita tidak lagi bergantung hidup dengan orang tua.

Menikah berarti menyatukan dua makhluk hidup, setiap makhluk hidup memiliki kebutuhan, dan memenuhi kebutuhan memerlukan biaya yang cukup. Apalagi untuk seumur hidup. Belum lagi kalau punya anak, bisa-bisa pengeluaran lebih besar dibandingkan penghasilan.

Maka dari itu, menurut saya, kita harus banyak-banyak belajar sebelum memasuki jenjang yang lebih serius. Belajar mengelola uang, belajar mengontrol emosi, belajar dalam segala hal sampai diri kita merasa siap menghadapi baik buruknya resiko setelah menikah. Mau tidak mau, resiko harus dihadapi, bukan dihindari. Bukan begitu?

Sayangnya, ada beberapa alasan menikah yang tidak mengikutsertakan kesiapan.

Menikah untuk menghindari zina

Tepat sekali, salah satu tujuan menikah ialah untuk menghalalkan hubungan suami-istri. Namun, itu bukan tujuan utama. Pernikahan tidak hanya berputar pada kebutuhan biologis, banyak hal lebih penting yang akan terjadi ketika sudah berumah tangga.

Memang nikmat bisa bermadu kasih secara halal dengan orang tercinta, akan tetapi hal tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah ekonomi.

Sebenarnya banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk menghindari zina---jika dirasa belum siap menikah---yaitu dengan berpuasa untuk muslim atau menyibukkan diri. Apapun itu, menurut saya, manusia memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengendalikan nafsunya.

Menikah karena ikut-ikutan

Manusia terkadang latah, melihat megahnya resepsi pernikahan orang membuat mereka ingin segera menikah. Tak jarang orang-orang melabeli "goals" pada pengantin---khususnya influencer atau public figure---karena dapat menata pernikahan impian sedemikian rupa. Akibatnya, mereka memiliki goals yang serupa seperti panutannya.

Jika sekedar mendambakan resepsi pernikahannya, sih, tidak masalah. Namun, jika perjalanan cinta orang lain dijadikan kiblat sebagai alasan ingin menikah, saya rasa agak keliru.

Mereka tidak sadar, bahwa hal yang mereka anggap "goals" hanyalah sebagian kecil dari makna pernikahan sesungguhnya. Mereka hanya menyaksikan resepsi yang megah, tanpa menelisik kehidupan setelahnya.

Selain buah dari pencapaian, pernikahan juga merupakan awal dari perjuangan. Berjuang untuk menjalani dan mempertahankan. Berjuang untuk terus mencintai dan mengasihi. Berjuang dan tentang berjuang bersama.

Jadi, jika ingin menikah hanya karena ikut-ikutan, coba pikirkan sekali lagi. Apakah kamu mampu menjalani kehidupan setelah menikah seumur hidup? Ya, kehidupan yang tidak sepenuhnya diekspos oleh panutanmu.
Menikah karena tuntutan

Bagi beberapa masyarakat, menikah bagaikan puzzle terakhir. Jika sudah lulus sekolah, bekerja, mapan, langkah selanjutnya agar hidup lebih lengkap yakni menikah.

Terlebih lagi, perempuan rata-rata dituntut stigma untuk menikah sebelum menginjak umur 25 tahun. Katanya sih, idealnya perempuan menikah muda. Padahal menikah bukan soal usia, kan?

Hal itu pula yang membuat pertanyaan "kapan nikah?" sering terlontar. Padahal mungkin, orang yang mereka tanyai belum memiliki kesiapan. Akhirnya, karena tekanan sekitar, mereka pun menikah secara terpaksa demi memenuhi tuntutan masyarakat. Kalau sudah begini, siapa yang salah?

Maka dari itu, menurut saya peran stigma dan masyarakat harus ikut andil, jangan melontarkan pandangan negatif pada orang yang belum menikah meski sudah cukup umur. 

Kita tidak pernah tahu hal apa yang menjadi dasar pertimbangan seseorang belum ingin menikah. Bisa saja dia ingin fokus mengejar karirnya dulu, atau menyelesaikan pendidikan S2-nya.

Setiap manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing, tidak perlu mengikuti standar masyarakat yang ada jika memang bersebrangan dengan prinsip hidupmu.

Menikah karena bosan sekolah

Terdengar konyol, tapi ada. Ketika saya scrolling media sosial, tak jarang anak sekolahan mengeluh akibat setumpuk tugas dan memilih ingin menikah sebagai penyelesaian. Beberapa dari mereka menganggap bahwa menikah merupakan solusi atas rasa bosan dan capek bersekolah.

Saya tidak ingin berkomentar panjang lebar, hanya akan melontarkan sebuah pertanyaan.

Jika menjalani sekolah (yang hanya bertahun-tahun) saja capek dan bosan, bagaimana berumah tangga (yang berlaku seumur hidup)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun